Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Rabu, 19 Agustus 2020 | 20:51 WIB
Pembajak sawah, Darsan, warga Desa Jetak, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. (Suara.com/Andri)

SuaraJatim.id - Mulai jadi pembajak sawah, hingga pemanggul damen atau tangkai padi telah dikerjakan. Itu semua, demi membelikan kuota internet anaknya untuk belajar online.

Sosok pekerja keras itu adalah Darsan, warga Desa Jetak, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. SuaraJatim.id menemuinya di sawah, Rabu (19/8/2020).

Semenjak sekolah daring mulai diberlakukan, beban kebutuhannya bertambah banyak.

Setiap pekan Darsan harus mengeluarkan Rp 35 ribu untuk membeli paket data. Supaya tugas anak anaknya dari sekolahan tidak telat kirim. Nilai Rp 35 ribu untuk Darsan yang tinggal di desa, sangat besar.

Baca Juga: Tak Setuju Belajar Online, Rektor UIN SUKA: Pendidikan Itu Merajut Relasi

"Setiap Minggunya harus membelikan anak kuota internet. Kalau dihitung sebulannya saya mengeluarkan Rp 140 ribu," jelasnya.

Pembajak sawah, Darsan, warga Desa Jetak, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. (Suara.com/Andri)

Uang Rp 100 ribu diterima bapak 3 anak ini atas jerih payahnya sebagai pembajak sawah. Sedangkan uang Rp 70 ribu dia terima setelah bekerja memanggul tangkai padi (digunakan sebagai pakan ternak).

"Kalau pemanggul tangkai padi itu biasanya ikut tetangga naik pickup ke luar Kabupaten. Seperti Bojonegoro, Lamongan dan Ngawi. Berangkatnya pagi buat dan pulangnya petang hari. Dapat upah Rp 70 ribu," terangnya.

Cerita kisah tersebut bermula pada siang hari. Kala itu, Darsan terlihat sedang membajak ladang juragannya, menggunakan dua ekor sapi miliknya. Mulai dari tepi sampai ujung pematang ladang.

Dengan tekun ia melakukannya berulang kali secara berurutan. Pada tangan kanannya, Darsan nampak memegang pecut (cambuk) kecil.

Baca Juga: Survei SMRC; 92 Persen Pelajar Indonesia Kesulitan Belajar Online

Rupanya itu ia gunakan sebagai alat mengendalikan sapi miliknya.

"Cek cek cek. Her! Her! Her!" suaranya saat membajak.

Agar tanah cepat terurai, di sela ke dua ekor sapi dia pasang alat yang terbuat dari kayu jati. Darsan menyebutnya rakal.

Karena mahir mengendalikan dua ekor hewan ternaknya itu, Darsan hanya perlu setengah hari untuk membajak.

"Tidak sampai sehari ini (lahan yang perlu dibajak) selesai," jelasnya.

Jika sudah selesai membajak, Darsan biasa melepaskan ke dua sapinya itu untuk kembali ke rumah sendiri.

"Beneran. Pulang sendiri-sendiri. Hafal ini (sapi-sapi). Sedangkan upah dari pekerjaan ini cukup untuk kebutuhan sehari-hari termasuk kuota internet," terangnya.

Dia berangkat selepas subuh untuk mengerjakan lahan milik tetangganya ini. Menggiring sapi-sapinya sambil menenteng tas berisi bekal sarapan seadanya.

Sementara di rumah yang tidak jauh dari lahan garapan ini, dia tinggal bersama 7 orang anggota keluarga.

Pembajak sawah, Darsan, warga Desa Jetak, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. (Suara.com/Andri)

"Ke dua orangtua tinggal bersama saya, istri dan ke tiga anak," akuinya.

Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya di tengah pandemi Covid-19 dia bekerja sangat keras.

Jika tidak ada lahan milik orang yang dibajak, Darsan menawarkan tenaganya untuk dipekerjakan kepada orang lain.

"Asalkan dapat upah. Jika tidak ada lahan yang perlu dibajak. Terpaksa mereman (serabutan). Istilahnya cari kerjaan apa pun yang penting halal," tambahnya.

Biasanya ikut naik mobil pickup milik tetangganya ke luar Kabupaten. Seperti Bojonegoro, Lamongan dan Ngawi.

"Saya biasa ikut kerja dengan tetangga ke luar Kabupaten mencari damen (tangkai padi kering yang sudah diambil bulirnya). Saya membantu mengangkat dari sawah hingga naik ke pickup. Upah dari kerja itu saya menerima uang Rp 70 ribu," katanya.

Susah payah itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, dia harus bekerja keras.

"Anak pertama sudah tidak sekolah. Anak ke dua sudah kelas 1 Madrasah Tsanawiyah dan yang terakhir kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah. Setiap se Minggu sekali harus membelikan kuota internet. Karena cuman punya handphone satu mereka (anak-anak) gantian mengirimkan tugas," ucapnya.

Darsan sendiri sebetulnya memiliki 3 lahan pertanian, semuanya ditanami jagung dan kacang. Namun hasil panen tersebut dia tabung untuk biaya sekolah anak-anaknya nanti hingga ke jenjang perguruan tinggi.

"Dalam hati setiap saya kerja. Pasti ingat anak-anak. Berdoa'a agar anak-anak kedepan tidak bernasib sama seperti bapaknya. Sehingga pengen sekali menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi," harapnya.

Kontributor : Andri Yanto

Load More