Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Kamis, 01 Oktober 2020 | 12:35 WIB
Cuplikan Fim G 30 S/PKI yang tayang di SCTV, Minggu 27 September 2020 / Foto : Istimewa

SuaraJatim.id - Sejarawan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Margana, mengomentari soal polemik di tengah masyarakat terkait pemutaran Film G30S/PKI yang isunya selalu ramai setiap tahun, terutama tiap September.

"Masyarakat saat ini sudah cerdas. Sudah banyak beredar fakta-fakta baru terkait peristiwa G30S/PKI sehingga orang bisa membuat penilaian mana yang benar dan tidak di film itu," katanya seperti dikutip dari laman resmi UGM.

Margana justru menyarankan masyarakat untuk kembali menonton Film G30S/PKI. Terlebih bagi masyarakat seperti kalangan milenial yang sama sekali belum pernah melihat film yang kerap dikritik mengandung sejumlah kebohongan dan propaganda ini.

Sebab, kata dia, dengan menonton film tersebut orang dapat belajar mengapa terdapat pro kontra terhadapnya. "Saya sarankan yang belum pernah nonton supaya menonton sebagai pengetahuan, menambah referensi cara berpikir sebelum bersikap," katanya.

Baca Juga: Profil Sarwo Edhie Wibowo, Pembasmi PKI

Dia menambahkan, pemerintah juga seyogianya tidak perlu mengeluarkan larangan bagi masyarakat untuk menonton film tersebut. Namun begitu, pemerintah juga diharapkan tidak menjadikan film itu sebagai tontonan wajib masyarakat.

"Kalau sampai diwajibkan maupun dilarang nonton itu tidak benar," katanya.

Dosen Departemen Sejarah FIB UGM ini menyampaikan kalau penayangan film ini dihentikan sejak reformasi 1998. Telah ada kajian-kajian yang mendasari penghentian terhadap film besutan sutradara Arifin C. Noer, salah satunya film tersebut dinilai cacat fakta.

Misalnya, soal kisah penyiksaan di luar batas kemanusiaan kepada para jenderal di Lubang Buaya. Hasil visum yang dilakukan para dokter tidak terbukti ada penyiksaan seperti pencukilan mata, pemotongan alat kelamin dan lainnya.

"Film ini terbukti cacat fakta yang sudah diakui oleh sutradaranya sendiri. Misalnya soal penyiksaan para jenderal sebelum dimasukan di Lubang Buaya itu terbukti dari arsip-arisp visum tidak ada, hanya dramatisasi," urainya.

Baca Juga: Film G30S/PKI Terbukti Cacat Fakta yang Sudah Diakui Sutradaranya Sendiri

Mengingat adanya unsur kekerasan dalam film G30S/PKI, Margana menekankan perlunya upaya sensor, sebab berpeluang dilihat oleh anak-anak. "Sebaiknya yang ada unsur kekerasan tidak perlu ditayangkan, lagi pula faktanya tidak ada penyiksaan," ujarnya.

Menurut dia, menjadikan peristiwa yang terjadi pada 1965 sebagai memori kolektif bangsa merupakan hal yang baik agar persitiwa serupa tidak terulang kembali. Namun, dia meminta masyarakat untuk tidak mewariskan dendam masa lalu pada generasi berikutnya.

Sebab, dalam persitiwa yang terjadi di tahun 1965 itu merupakan konflik antar kelompok politik. "Yang mengerikan itu hendak diwariskan pada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Jadi, jangan wariskan dendam," ucapnya.

Load More