Scroll untuk membaca artikel
Abdul Aziz Mahrizal Ramadan
Sabtu, 09 Juli 2022 | 21:07 WIB
Polisi menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan demonstran di dekat kediaman presiden saat berunjuk rasa menuntut pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa, di Kolombo, Sri Lanka, 8 Juli 2022. (ANTARA/Reuters/Dinuka Liyanawatte/as)

Mereka memprotes kegagalan pemerintah melindungi mereka dari kehancuran ekonomi.

Ketidakpuasan makin menjadi-jadi dalam beberapa pekan terakhir ketika negara itu berhenti mengimpor bahan bakar, yang mendorong penutupan sekolah dan penjatahan bensin dan solar untuk layanan esensial.

Sampath Perera, nelayan berusia 37 tahun, menumpang sebuah bus yang sesak dari kota pinggir laut Negombo, 45 km dari Kolombo, untuk ikut berunjuk rasa.

"Kami sudah memberi tahu Gota berulang kali untuk pulang tetapi dia masih memegang erat kekuasaannya. Kami tak akan berhenti sampai dia mendengarkan kami," kata Perera.

Baca Juga: Sri Lanka Krisis Bahan Bakar hingga Makanan, Massa Geruduk Kediaman Presiden

Bersama jutaan orang lainnya, dia menjadi korban kelangkaan bahan bakar yang kronis dan inflasi yang mencapai 54,6 persen pada Juni.

Instabilitas politik dapat mengganggu pembicaraan Sri Lanka dengan Dana Moneter Internasional untuk mendapatkan dana talangan 3 miliar dolar AS (Rp44,93 triliun).

Situasi itu juga menghambat upaya Sri Lanka untuk mendapatkan restrukturisasi sejumlah utang luar negeri dan mengumpulkan dana dari sumber multilateral dan bilateral untuk mengatasi kekurangan devisa. (Antara)

Load More