Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 15 Agustus 2025 | 20:37 WIB
Ilustrasi semur ayam yang dikenal makanan khas nusantara. (Pixabay/June A)

SuaraJatim.id - Kekayaan kuliner Nusantara memang tak perlu diragukan lagi. Dari Sabang sampai Merauke, setiap daerah memiliki cita rasa khas yang menggugah selera.

Namun, tahukah Anda jika beberapa hidangan yang begitu akrab di lidah kita sehari-hari ternyata menyimpan jejak sejarah kolonial yang kental?

Ratusan tahun masa pendudukan Belanda di Indonesia tidak hanya meninggalkan warisan arsitektur dan hukum, tetapi juga memicu terjadinya akulturasi budaya yang mendalam di dapur-dapur masyarakat.

Banyak hidangan yang kita anggap asli Indonesia sejatinya adalah hasil adaptasi dan modifikasi dari resep Eropa, disesuaikan dengan ketersediaan bahan baku dan selera lokal.

Proses persilangan budaya ini melahirkan hidangan-hidangan unik yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari santapan keluarga Indonesia.

Berikut adalah lima makanan populer yang ternyata merupakan warisan kuliner dari era Belanda.

1. Perkedel, Si Bulat Gurih Adaptasi Frikadeller

Perkedel. (Instagram/@pawonidha)

Siapa yang tidak kenal perkedel? Lauk pendamping soto, rawon, atau nasi kuning ini menjadi favorit banyak orang.

Namun, nama dan konsepnya berasal dari kudapan Eropa bernama frikadeller. Dalam bahasa Belanda, frikadeller merujuk pada daging giling yang dipadatkan lalu digoreng.

Baca Juga: Apesnya Nasib Persela, Didenda Rp10 Juta dan Dihukum 4 Laga Tanpa Penonton

Jika frikadeller menggunakan daging giling sebagai bahan utama, perkedel khas Indonesia menggunakan bahan utama kentang yang dilengkapi dengan campuran daging ayam, bawang putih, lada, garam, dan telur.

Modifikasi ini terjadi karena kentang lebih mudah didapat dan harganya lebih terjangkau oleh masyarakat lokal pada masa itu, sehingga resepnya diubah total dan menghasilkan cita rasa yang kita kenal sekarang.

2. Semur, Rebusan ala Belanda yang Manis Legit

Sajian semur telur. (YouTube/Mama Adeeva)

Hidangan semur dengan kuah cokelat pekat yang manis dan legit menjadi menu rumahan yang sangat populer.

Istilah "semur" sendiri merupakan serapan dari bahasa Belanda, yaitu smoor, yang secara harfiah berarti masakan yang direbus dengan tomat dan bawang secara perlahan dalam wadah tertutup.

Awalnya, teknik memasak smoor diperkenalkan oleh Belanda untuk mengolah daging.

Namun, masyarakat Indonesia mengadaptasinya dengan menambahkan kecap manis, pala, cengkeh, dan berbagai rempah lokal lainnya. Penambahan kecap manis inilah yang menjadi kunci pembeda, memberikan rasa manis khas Nusantara yang begitu disukai.

3. Spikoe, Kue Lapis Para Bangsawan

Ilustrasi sajian spikoe kuno, kue lapis khas Surabaya (Envato Elements)

Bagi pecinta kue, terutama di Surabaya, Spikoe atau lapis Surabaya adalah kudapan premium yang sering dijadikan oleh-oleh. Kue mewah ini ternyata memiliki akar dari tradisi minum teh para bangsawan Belanda.

Namanya pun berasal dari bahasa Belanda, 'Spekkoek'.

Pada zaman kolonial, Spikoe disajikan sebagai hidangan pelengkap saat jamuan minum teh kaum Eropa.

Ciri khas kue ini adalah lapisannya yang diisi dengan selai dan terkadang ditambahkan kismis atau buah kering lainnya, menciptakan perpaduan rasa manis dan legit yang klasik.

4. Klappertart, Manisnya Kelapa Manado Berpadu Resep Eropa

Klapertar makana khas manado. [Istimewa]

Meski dikenal sebagai oleh-oleh khas Manado, Klappertart adalah bukti nyata perpaduan kekayaan alam Indonesia dengan teknik kuliner Eropa.

Namanya merupakan gabungan dua bahasa: 'klapper' yang merujuk pada kata kelapa, dan 'taart' yang dalam bahasa Belanda berarti kue.

Menurut sejarah, resep ini muncul ketika para pedagang Belanda di Manado melihat melimpahnya hasil kelapa di wilayah tersebut.

Mereka kemudian berkreasi menciptakan kue berbahan dasar kelapa, daging kelapa muda, susu, tepung, dan mentega. Hasilnya adalah hidangan penutup yang lembut, manis, dan gurih, yang hingga kini menjadi ikon kuliner Sulawesi Utara.

5. Selat Solo, Bistik Jawa Adaptasi Steak Eropa

Selat Solo (suara.com)

Selat Solo adalah hidangan khas Surakarta yang sekilas tampak seperti salad, namun memiliki isian lengkap berupa daging, telur, dan sayuran.

Usut punya usut, hidangan ini merupakan bentuk adaptasi dari steak atau bistik Eropa yang disesuaikan dengan selera bangsawan Keraton Surakarta.

Pada masa itu, kaum bangsawan keraton dan orang Belanda sering berinteraksi, termasuk dalam urusan kuliner.

Rasa bistik asli yang terlalu 'barat' kemudian dimodifikasi dengan kuah encer yang memiliki cita rasa manis, asam, dan segar dari campuran rempah-rempah lokal.

Jadilah Selat Solo, sebuah 'steak' versi Jawa yang unik dan menyegarkan.

Load More