SuaraJatim.id - Pernah terpuruk dan bangkit untuk meraih cita-cita, tentunya membutuhkan perjuangan yang berat dalam menjalankannya. Kisah tersebut tergambar jelas dari perjalanan hidup Noviana.
Siapa menyangka, jika peraih gelar Cumlaude dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga dengan IPK 3,94 tersebut dahulunya pernah menjadi pengamen jalanan.
Ketika ditemui di Airlangga Convention Center pada Jumat (6/9/2019), Noviana membeberkan kisah getirnya yang terlahir dari keluarga tak berkecukupan.
Noviana bercerita sejak masih dalam kandungan, bapaknya yang bekerja sebagai kuli bangunan mengalami kecelakaan parah.
Baca Juga:Sosok Idris, Anak Petani Lulusan Terbaik di Akpol 2019
"Karena kekurangan biaya, bapak tidak dioperasi. Beliau segera bangkit dan menjadi tukang becak, walaupun belum sepenuhnya sembuh. Tidak lama berselang, becak bapak dicuri," ujar anak keempat dari delapan bersaudara itu.
Pun cobaan kemudian datang saat kedua orang tuanya sakit keras. Kala itu, Novi hanya memiliki pilihan mengamen mengikuti jejak kedua kakaknya yang mencoba mengadu nasib di jalanan.
Meski sempat dilarang orang tuanya, namun keinginan untuk membantu meringankan perekonomian keluarga tak terbendung.
"Akhirnya, bapak memperbolehkan kami mengamen dengan catatan sekolah tetap yang utama. Jangan dijadikan sumber penghasilan hingga dewasa. Bahkan, ibu dan bapak setia mengawasi kami saat mengamen," ujarnya.
Novi mengakui, meski hidup di jalanan, kedua orang tuanya bahkan tetap mengingatkan agar disiplin terkait pendidikan.
Baca Juga:Mengharukan, Anak Tukang Parkir Ini Jadi Lulusan Terbaik PTN di Yogyakarta
"Waktu beristirahat kami gunakan untuk mengerjakan tugas," katanya dengan berkaca-kaca.
Semasa mengadu nasib di jalan, Noviana kerap kali berhadapan dengan risiko. Beberapa kali, mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, bahkan ditahan di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos).
![Noviana bersama kedua orang tuanya. [Suara.com/Dimas Angga P]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/09/06/98524-noviana-bersama-orang-tuanya.jpg)
Namun, dalam kondisi kurang layak sudah menjadi ‘makanan’ sehari-hari. Novi dan saudara-saudaranya tak gentar. Bahkan, bagi Noviana dan keluarganya, jalanan adalah tempat untuk belajar banyak hal.
"Saya mengamen sejak kelas TK sampai SMP, waktu kelas 6 SD sempat terciduk," ujarnya.
Noviana mengingat Jalan Ngagel di Kota Surabaya menjadi tempat sandarannya mencari nafkah.
"Memang dunia jalanan kan keras, syukur bapak dan ibu protektif. Walaupun saya hidup di jalanan, saya tidak terpengaruh gaya hidup jalanan seperti merokok, minum-minuman keras. Kalau digodain ya pasti, tapi kita enggak respon lah," ungkapnya.
Perubahan nasib mulai dirasakannya saat masuk masa SMA. Noviana mulai menekuni olahraga Panahan, bahkan sempat mengikuti Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) sebagai bagian dari kontingen Surabaya.
"SMA sibuk dengan Panahan, sempat ikut pertandingan resmi seperti Porprov Jawa Timur, dapat medali emas dan perak, bonusnya saya buat bayar sekolah dan buka usaha kecil-kecilan," katanya.
Namun, saat masuk kuliah di Universitas Airlangga, Noviana memilih berhenti dan fokus belajar ilmu hukum yang dipilihnya.
"Saat kuliah, berhenti total dari Panahan, sejak awal kuliah enggak minta uang ke orang tua. Saat mendaftar kuliah pun saya membayar biaya pendaftaran pakai duit sendiri dari sisa Porprov," paparnya.
Keputusan berhenti dari dunia olahraga, pun berdampak pada pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupanya. Sehingga, dia harus mencari peluang lain untuk bisa membiayai kebutuhan sehari-hari dan memenuhi keperluan kuliah.
"Waktu kuliah serabutan hingga dua tahun, terus magang mendapat uang saku dari LBH. Ya cukup buat beli buku dan bayar kuliah, kan LBH-nya milik kampus sendiri," tambahnya.
Setelah lulus dan menjadi wisudawan terbaik, Noviana masih memiliki keinginan melanjutkan studi di magister hukum. Pun sembari menunggu pembukaan CPNS di Kemenkumham Jawa Timur.
"Inginnya sih ngelanjutin magister hukum, sembari tunggu lowongan CPNS Hakim," ujarnya.
Kontributor : Dimas Angga Perkasa