SuaraJatim.id - Seorang pedagang kopi bernama Kusnan Hadi (48) menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kusnan menggugat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 Tentang kenaikan Iuran BPJS 100 persen.
Gugatan tersebut resmi didaftarkan Kusnan Hadi melalui kuasa hukumnya, Muhammad Sholeh ke Pengideadilan Negeri (PN) Surabaya, Jumat (1/11/2019). Mereka menganggap kenaikan iuran BPJS yang dipukul rata itu memberatkan masyarakat.
”Kami mengajukan uji materi terhadap Perpers Nomor 75 Tahun 2019. Ini adalah keputusan Jokowi menaikkan 100 persen iuran BPJS," ujar Sholeh seperti diberitakan Beritajatim.com - jaringan Suara.com.
Untuk tarif kelas mandiri dengan manfaat pelayanan di ruang kelas perawatan kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu per peserta per bulan. Atau naik Rp 16.500.
Baca Juga:Benny Wenda: Saat Rakyat Kami Disiksa, Jokowi ke Papua seperti Liburan
Kemudian iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp 51 ribu menjadi Rp 110 ribu per peserta per bulan.
Sementara untuk pelayanan di ruang perawatan kelas I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per peserta per bulan.
Kemudian Penerima Bantuan Iuran (PBI) yakni Semula Rp 23.000 per orang per bulan menjadi Rp 42.000.
"Tentu kenaikan ini memberatkan bagi peserta terutama rakyat kecil,” kata Sholeh.
Menurutnya Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan tersebut merupakan kesalahan berat, dimana Pemerintah memukul rata tanpa melihat kedudukan dan penghasilan atau pendapatan masyarakat yang berbeda beda.
Baca Juga:Presiden Jokowi Lantik Idham Azis Sebagai Kapolri
“Mestinya kalau menaikan, Pemerintah harus memperhatikan pendapatan masyarakat, jangan dipukul rata. Karena belum tentu masyarakat di kota penghasilannya sama dengan didesa,” ujarnya.
Dengan banyaknya keluhan masyarakat terhadap kenaikan iuran BPJS menjadi dua kali lipat itu, Ia berharap Mahakamah Agung (MA) segera membatalkan peraturan Jokowi.
“Konsekuensinya kalau ini dibatalkan berarti kembali ke Perpres lama, Perpres Nomor 85 Tahun 2018,” jelasnya.
Sementara terkait defisit dinilai sebagai tameng pemerintah untuk menjadikan alasan menaikkan iuran BPJS.
“Ini merupakan kesalahan cara berpikir pemerintah, dimana dengan disatukan BPJS ini seakan akan mendapatkan keuntungan yang banyak, tapi faktanya tekor. Ketika tekor, Pemerintah tidak mau rugi sehingga dibebankan ke masyarakat,” ungkap Muhammad Sholeh.
Menurutnya BPJS adalah asuransi bukanlah pajak. Sehingga ada upaya paksa yang dilakukan pemeritah terhadap masyarakat dengan mewajibkan masyarakat ikut BPJS.
“Kalau pajak itu wajib, baik si kaya maupun si miskin. Tapi BPJS ini tidak boleh dipaksakan, boleh ikut boleh juga tidak, karena ini asuransi. Tidak boleh model pemaksaan seperti sekarang ini,” pungkasnya
Sementara Kusnan Hadi mengatakan gugatan uji materi ini dilakukan karena dia merasakan beratnya kenaikan iuran BPJS tersebut. Ia menganggap bahwa terdapat kesalahan pengelolaan oleh BPJS.
“Saya yakin, gugatan saya ini mewakili masyarakat. Karena tidak semua orang berani melakukan gugatan. Dan soal BPJS ini bukan masalah iurannya, tapi adanya kesalahan pengelolaan dan penanganan di BPJS,” ujar Kusnan.
Lebih lanjut, secara pribadi Kusnan mengakui keberadaan BPJS kesehatan sangat membantunya.
“Saya merasa diuntungkan dengan BPJS tapi jangan dinaikan, kasihan dengan orang orang miskin,” pungkasnya.