Kisah Mbah Suwaji, 30 Tahun Jual Bakso dengan Mata Katarak di Gang XX

Posisi yang cukup strategis di samping jalan raya tersebut mudah untuk di lihat pembeli yang sekadar ingin menikmati bakso.

Pebriansyah Ariefana
Selasa, 11 Agustus 2020 | 09:31 WIB
Kisah Mbah Suwaji, 30 Tahun Jual Bakso dengan Mata Katarak di Gang XX
Mbah Suwaji. (Suara.com/Arry)

SuaraJatim.id - Sekitar pukul 13.00 WIB, cuaca kawasan Dukuh Kupang memang cukup terik. Namun, suara kendaraan yang berlalu lalang tak sedikitpun menggangu tidurnya.

Lelaki berusia 84 tahun itu terlihat meringkuk di atas kursi plastiknya. Ia tampak tertidur beralaskan kardus dengan suasana hembusan angin yang sejuk di bawah pohon. Tidurnya pun terlihat cukup pulas.

Suwaji, seorang pedagang bakso yang sehari-harinya berdiam diri di depan sebuah gang yang tertutup pagarnya dimanfaatkan untuk berjualan.

Posisi yang cukup strategis di samping jalan raya tersebut mudah untuk di lihat pembeli yang sekadar ingin menikmati bakso.

Baca Juga:Cara Penjual Bakso Mengikat Plastik saat Panas Ini Bikin Melongo

Meski sudah renta, Suwaji tetap bersemangat menyajikan baksonya. Kulit tangannya yang sudah keriput tetap kokoh menggenggam mangkok dan sendok.

Tetapi beberapa kali terlihat meleset ketika menuangkan kuah. Maklum, penglihatan Suwaji sudah jauh menurun.

"Setunggal nopo kale? (Satu atau dua porsi?)," tuturnya saat melihat SuaraJatim.id mendekati gerobak baksonya. Ia langsung beranjak dari tidur dan memperbaiki masker biru di wajahnya.

Usai menyajikan baksonya, Suwaji mulai bercerita bahwa sudah 30 tahun lamanya dia menekuni bidang penjualan bakso.

Setelah menikah dengan sang istri ia mempertaruhkan nasib di Kota Pahlawan. Berbekal resep seadanya, Suwaji dan istri membuat baksonya sendiri dengan tangannya.

Baca Juga:Kisah Kakek Asik, Menua di Gubuk Sempit dan Nyaris Buta karena Katarak

"Nikah dapat dua minggu langsung ke Surabaya, di sini dulu ngontrak sama Mbah Putri (istrinya), seharga Rp 1500 selama dua tahun. Dulu awalnya ya jualan macam-macam, es cao pernah, terus kemudian memutuskan jualan bakso saja," ujarnya.

Dengan gerobak kesayangan berwarna biru ia menunggu pelanggan di kawasan Dukuh Kupang Gang XX. Harga yang ditawarkan cukup terjangkau, Rp 10 ribu dengan semangkok penuh bakso lengkap berisi siomay, tahu dan gorengan.

"Tiap hari ya jualan di sini, nggak muter-muter (nyari pelanggan). Di sini tempatnya gak ngganggu jalanan dan gampang di lihat," ucapnya.

Dalam sehari, Suwaji menjajakan baksonya mulai pukul 12.00 WIB hingga 21.30 WIB. Selama hampir 10 jam habis atau tidak habis dagangannya, ia akan tetap pulang dengan hasil seadanya.

"Berangkat waktu sola-sola. Kalau sudah jam setengah 10, habis gak habis ya harus pulang. Hasilnya gak menentu, biasanya seh>ari dapat Rp150-200 ribu saja, itu masih kotor," jelasnya.

Suwaji memiliki keterbatasan penglihatan akibat penyakit kataraknya yang sudah dideritanya selama 2 tahun. Ia pun tak mengobati justru memilih untuk membiarkannya

"Baru dua tahun ini katarak saya, nggak usah di obatin buat apa biarkan saja kayak gini nggak apa-apa. Masih bisa melihat walaupun cuma samar-samar," ucapnya.

Melihat kondisinya yang sudah membungkuk dan penglihatan yang mengurang, Suwaji mengaku banyak anak muda yang merasa iba terhadapnya. Terutama mahasiswa-mahasiswa di sekitar kawasan kampus yang biasa membeli baksonya.

Mbah Suwaji. (Suara.com/Arry)
Mbah Suwaji. (Suara.com/Arry)

"Sering saya itu dibantu sama anak-anak muda di sini. Biasanya mereka anak-anak kuliahan. Ada juga anak yang datang dari jauh membantu dengan sekedar melariskan dagangan bakso saya seperti sampean ini," ungkapnya sembari menghidangkan es jeruk.

Bahkan sempat suatu waktu ketika momen bulan puasa, Suwaji dilarang oleh anak-anak yang membantunya untuk berjualan. Ia diminta untuk istirahat di rumah selama satu bulan berpuasa sambil menemani sang istri. Sementara kebutuhan ekonomi selama satu bulan akan di suplai oleh mereka.

"Waktu puasa itu sering banget di kasih roti, di suruh libur juga. Dijanjikam disamperin di rumah dibantu. Jadi nggak boleh keluar sama sekali nemenin Mbah Putri," lanjutnya.

Sebenarnya Suwaji tidak ingin melakukan hal tersebut, ia mengaku ketika tidak beraktivitas tubuhnya justru merasakan pegal-pegal. Ia memilih setiap hari untuk berjualan.

"Saya itu nggak mau libur, soalnya kalau libur itu badan malah sakit semua. Gak ngapa-ngapain badan gak gerak jadi keju (nyeri) rasanya," katanya.

Suwaji sangat senang banyak anak-anak muda yang masih peduli dengan kondisi orang tua. Anak cucu pria bertopi koboi ini juga masih mengingatnya hingga sampai kini.

Setiap dua minggu sekali, anak cucunya yang tinggal di luar kota selalu mengunjunginya secara rutin. Ia bersyukur akan hal itu.

"Anak saya ada 4, dua laki, dua perempuan. Semuanya ada di luar kota, ada di Sukodono, Madiun, Balongpanggang. Dua minggu sekali nyamperin terus nginep sehari pulang," kata Suwaji.

Adanya pandemi Covid-19, rupanya membuat anak cucunya sempat tak bisa menengoknya selama hampir 2 bulan lebih karena aturan yang melarang masyarakat untuk berpergian ke luar kota akibat PSBB beberapa waktu lalu.

"Gara-gara musim pagebluk ini anak cucu saya gak bisa nyambangi. Mereka juga ribut ngurusi sandang pangannya sendiri. Kalau sekarang bisa melihat anak senyum tok wes senang, di sambangi ya tambah senang," ungkap Suwaji yang mengaku rindu.

Bapak 4 anak ini juga mengaku telah ditinggal sosok ayah sejak masih di dalam kandungan yang berusia 9 bulan. Ketika lahir ia tak pernah melihat wajah ayahnya.

Ibunya mengurus sendiri 6 anak. Sehingga ia tak pernah menikmati rasanya mengenyam pendidikan formal.

"Mbah niki mboten sekolah sama sekali, waktu kecil bapak sudah meninggal, ibu ditinggali 6 anak, dan saya yang terakhir. Belajarnya saya ya hanya dari ngaji," jelasnya sambil mengingat masa kecilnya.

Kini, Suwaji sendirian. Saudaranya sudah wafat semua. Yang tersisa hanyalah sang istri dan anak cucunya. Meski begitu selama 30 tahun berjualan akhirnya, lelaki asal Lamongan itu berhasil membeli rumahnya sendiri yang kini ditinggali berdua bersama istrinya di Jalan Dukuh Pakis Gang 6A No 63.

"Hasil jualan selama 30 tahun, alhamdulillah sudah punya rumah sendiri, gak besar yang penting bisa jadi tempat tinggal bersama Mbah Putri," kata dia.

Suwaji pun berpesan, ketika hidup di dunia untuk selalu menjunjung tinggi kejujuran dan tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya alias mencuri. Yang diinginkannya saat ini hanyalah diberi kesehatan dan rezeki yang terus mengalir.

"Nomor satu jangan nyolong, jangan mbujuki. Berdoa supaya di kasih sehat terus. Saya itu nggak pingin apa-apa, cuma pengen diberi kesehatan aja seger waras udah itu aja dan rezeki lancar," pungkasnya.

Kontributor : Arry Saputra

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini