SuaraJatim.id - Hari Menentang Hukuman Mati se-Dunia yang diperingati setiap 10 Oktober terus didengungkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS.
KontraS menilai hukuman mati di Indonesia dinilai tak relevan lagi diterapkan.
Hal Tersebut diungkapkan Koordinator KontraS Yati Andriyani saat menggelar diskusi publik dengan mahasiswa Universitas Brawijaya Malang berkolaborasi dengan ECPM (Together Against the Death Penalty) di Malang Jawa Timur, Selasa (15/10/2019).
Ia mengatakan, KontraS sejak lama mendedikasikan diri membela terpidana mati. Alasannya karena sudah tidak relevan lagi diterapkan.
Selain itu, Indonesia telah memiliki konstitusi yang menjamin hak atas hidup yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Serta sudah meratifikasi konvensi hak- hak sipil politik.
"Eksekusi hukuman mati ada upaya (menunjukkan) citra yang tegas dan kuat oleh presiden. Namun tidak bisa memisahkan kepentingan hukum dan politik, karena ada kepentingan politik dan pencitraan," ujarnya.
"Kalau dengan tujuan citra. Hal itu melanggar hak asasi manusia, dan kita harus mengkritisi," katanya.
Dalam praktiknya, lanjut dia, pihaknya menemukan sejumlah napi terpidana mati karena ada persoalan dalam praktik pemidanaan, baik proses penyelidikan, penyidikan sampai proses peradilan.
"Seringkali ada masalah sehingga seseorang mudah divonis hukuman mati," ujarnya.
Baca Juga: KontraS Duga Mahasiswa Halu Oleo Tewas Tertembak, Ini Respons Polri
Lalu bagaimana dengan kasus kriminalitas dengan tingkat yang tinggi, semisal kasus narkoba hingga terorisme. Yati menegaskan, kejahatan narkotika dan terorisme adalah kejahatan yang memang harus dikutuk dan tidak boleh ditoleransi.
"Tetapi sekali lagi yang kami ingin ajak adalah apakah dengan menghukum mati mengurangi kejahatan narkotika? Toh sudah bisa diidentifikasi sama sekali tidak berpengaruh pada menurunnya angka kejahatan narkotika," jelasnya.
"Kalau terpidana terorisme, ya mati memang sudah menjadi tujuan mereka," sambung dia.
Ia menambahkan, efektivitas penerapan hukuman mati sudah tidak efektif. Bahkan efek jera yang diharapkan sudah tidak lagi kontekstual.
"Kalaupun ada praktik hukuman mati di sebuah negara, mereka memiliki mekanisme save guard, pengawalan memastikan akses lawyer yang kuat, akses kesehatan kuat, penterjemah kuat," bebernya.
Sedangkan, masih kata Yati, Indonesia tidak memiliki atau menerapkan mekanisme save guard. Namun pemerintah masih melakukan praktik hukuman mati. Sementara itu, praktik sistem pemidanaan nyatanya masih rentan, mulai persoalan independensi akuntabilitas dan profesionalitas.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Analisis: Taktik Jitu Andoni Iraola Obrak Abrik Jantung Pertahanan Manchester United
-
29 Unit Usaha Syariah Mau Spin Off, Ini Bocorannya
-
Soal Klub Baru usai SEA Games 2025, Megawati Hangestri: Emm ... Rahasia
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
Terkini
-
21 Rumah Warga Situbundo Terendam Banjir, Diterjang Luapan Sungai Cora Menjangan
-
Rangkaian Livin' Fest Music di Surabaya Berakhir, Rayakan Harmoni Indonesia Nuansa Jawa Timur
-
Banjir Lahar Gunung Semeru Rusak Puluhan Rumah di Lumajang, Warga Diminta Mengungsi
-
130 Tahun BRI, Raden Bei Aria Wirjaatmadja Perintis UMKM dan Holding Ultra Mikro
-
Gubernur Khofifah Terima Penghargaan Katalis Talenta AI SMA/SMK dari ITS Surabaya