Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Minggu, 30 Oktober 2022 | 07:52 WIB
Ilustrasi terorisme. [Shutterstock]

SuaraJatim.id - Teroris sudah pasti radikal, tapi radikal belum tentu teroris. Tak sedikit, ajaran agama, dibumbuhi dengan doktrin radikal. Alhasil, banyak gerakan radikalisme berjalan atas nama agama tertentu. Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) RI berusaha menekan doktrin itu di tengah masyarakat Indonesia.

"Potensi teroris itu ada. Tapi tidak besar. Karena mayoritas bangsa kita ini cinta damai, cinta NKRI.Tapi yang minoritas ini harus di antisipasi. Jangan sampai kelompok teroris ini mempengaruhi anak muda kita," kata Kepala BNPT RI Komjen Pol Boy Rafli Amar, Sabtu (29/10/2022).

BNPT terus melakukan identifikasi gerakan tersebut. Hanya saja, radikalisme terus bergerak. Mencari pendukung dan pengikut. Dari ajaran yang mereka berikan, dapat mengikis nilai nasionalisme. "Jadi seperti virus, menyebabkan intoleran, radikal ini tidak boleh begitu saja di abaikan," tegasnya.

Sehingga, jika tidak waspada, masyarakat Tanah Air akan anti nasionalisme. Bangsa Indonesia dilahirkan sebagai pejuang. Bahkan, banyak pejuang NKRI dari Surabaya. Karena itu, ia meminta agar jiwa pejuang dari para pahlawan itu ada dalam jiwa pemuda di kote tersebut, untuk melawan doktrin radikal.

Baca Juga: Guru SDN di Sumenep Ditangkap Densus 88, Diduga Terlibat Jaringan Terorisme

Ia mengakui jika doktrin tersebut banyak mengatasnamakan agama. Karena itu, ia bekerjasama dengan tokoh agama yang mewariskan prinsip hubbul wathon minal iman. "Karena hari ini kita bertarung dengan ideologi-ideologi lain. Apalagi, era semakin terbuka, era sosial media, era globalisasi," terangnya.

Pendapat serupa juga diberikan tokoh nasional Dahlan Iskan. Menurutnya, terorisme merupakan ancaman paling tinggi. Juga sangat menakutkan orang banyak. Sehingga, itulah yang harus dihilangkan.

"Isu terorisme ini harus all out. Karena ini menimbulkan ketakutan yang meluas dan itu mengganggu pembangunan negara untuk menjadi negara maju. Karena terorisme itu yang paling mengganggu perencanaan kemajuan sebuah negara" tegasnya.

Pun menurut Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elistianto Dardak menambahkan, radikalisme merupakan akibat yang ditimbulkan dari intoleran. Beberapa poin penyebab terjadinya intoleran.

Diantaranya: absolutisme (kesombongan intelektual), ekslusivisme (kesombongan sosial), fanatisme (kesombongan emosial), ekstrimisme, dan agresivisme. "Tidak semua aksi radikal mempunyai basis keagamaan. Tetapi, tidak sedikit radikalisme yang terjadi atas nama agama," terangnya.

Baca Juga: Terduga Teroris di Sumenep Madura, Diduga Terafiliasi dengan Jamaah Islamiah

Pemerintah Pemprov Jatim memiliki peraturan gubernur (Pergub) nomor 55/2012 tentang pembinaan agama dan aliran sesat. Pergub 51/2015 tentang larangan ISIS di Jatim. Peraturan daerah (Perda ) Jatim 8/2018 tentang toleransi kehidupan bermasyarakat. "Itu terkait regulasi yang ada di Jatim," ucapnya.

Di sisi lain, menirut Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jatim Arif Rachman menambahkan, isu radikal kini merambat melalui media sosial (Sosmed). Di Indonesia, yang paling banyak digunakan adalah Whatsapp, instagram, TikTok dan Facebook.

"Kenapa kemudian orang-orang sekarang ini berebut menguasai media sosial? Karena memang faktanya sekarang ini dunia sudah berubah. Teknologi itu pertumbuhannya sangat cepat sekali. Jadi sebenarnya yang radikal ini perkembangan teknologi," ucapnya.

Pengguna sosmed pun ia menilai sangat tinggi. Ia menyontohkan menjelang Pilpres 2014 lalu, pengguna aktif Medsos di Indonesia baru 61 Juta. Sekarang ini, menurutnya sudah naik tiga kali lipat. Sekitar 191 juta pengguna aktif. "Bisa dibayangkan itu. Inilah perubahan," ucapnya.

Sebagian besar masyarakat, mengonsumsi berita hanya dari sosmed. Pun tidak ada aturan hukum yang mampu mengatur medsos. "Padahal kita tahu dengan pengguna sebesar itu tentu dampaknya sangat luar biasa," ucapnya.

Kontributor : Yuliharto Simon Christian Yeremia

Load More