Scroll untuk membaca artikel
Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 10 Februari 2023 | 19:08 WIB
Prof. Koentjoro saat memberikan keterangan ahli Psikologi, di kasus Tragedi Kanjuruhan Malang. [Suara.com/Dimas Angga]

SuaraJatim.id - Didatangkan sebagai ahli dari akademisi, Psikologi dari Universitas Gajah Mada (UGM) ini membeberkan kejadian Tragedi Kanjuruhan Malang melalui video dari penasehat hukum (PH) terdakwa tiga polisi.

Usai melihat video dari PH terdakwa tiga polisi, Profesor Koentjoro MbSC. PhD Psikolog dari UGM ini langsung hormat pada polisi-polisi yang bertugas pada malam kejadian tersebut, 1 Oktober 2022 lalu.

"Saya hadir sebagai saksi ahli harus bersikap imparsial tidak boleh memihak. Saya harus membawa kebenaran. Saya salah boleh, tapi saya tidak boleh berbohong," ujar Koentjoro pada awak media, Jumat (10/2/2023) siang.

Menurut analisis dari Koentjoro, usai dia melihat video di persidangan siang ini, bahwa penonton sendiri melebihi kapasitas. Dia juga menjelaskan perihal massa yang hadir dalam pertandingan antara Arema FC dan Persebaya Surabaya pada malam itu.

Baca Juga: Sidang Tragedi Kanjuruhan, Saksi Anggota Brimob Sebut Steward Tak Mampu Kendalikan Suporter

"Analisis saya pertama jumlah penonton melebihi kapasitas. Suporter sepak bola itu istilah saya massa kongkrit. Ada kemungkinan pertandingan sarana rekreasi yang anak-anaknya sekolah di akademik," jelasnya.

"Penonton di sini dikelompokkan yang kongkrit isinya fanatik. Abstrak, sekedar rekreasi. Abstrak seperti ke pasar sama-sama punya kepentingan. Kalau yang (seperti) nonton film kepentingannya sama," imbuhnya.

Di kesempatan ini, dia juga mengatakan, adanya penonton yang turun, sebagai ahli akademik bidang psikologi, Koentjoro menjelaskan penonton atau yang suporter pendukung Arema, bukan yang ada kepentingan berbeda-beda.

"Penonton yang turun adalah penonton yang kongkrit. Sebenarnya yang disasar aslinya pemain klub lawan. Namun suporter lawan tidak hadir, akhirnya pemain Arema sendiri. Di situ kipernya. Kenapa Karena yang kebobolan, nah karena dilindungi akhirnya polisi yang disasar," ucapnya.

Aksi suporter Aremania, lanjut Koentjoro, juga didorong oleh waktu pertandingan, yang dilakukan pada malam hari, sehingga dorongan suporter berbuat anarkis juga menjadi-jadi.

Baca Juga: CEK FAKTA: Goodbye Arema FC, Gian Zola Resmi Bergabung Persib Bandung? Netizen: Duet Beckham Putra

"Polisi juga manusia. Malam hari ada anominitas. Malam hari identitas tidak kelihatan sehingga kenekatannya semakin menjadi-jadi. Lalu ada minuman keras. Minuman keras jadi stimulan," jelasnya.

Koentjoro juga mengingatkan kembali soal FIFA yang melarang pembawaan gas air mata ke stadion, di sini sebagai ahli yang dipanggil di proses persidangan menegaskan, jika seharusnya panitia penyelenggara (Panpel) melarang pihak keamanan membawa hal itu, bukan membiarkan.

"Saya dengar FIFA melarang polisi bawa gas air mata. Tapi Panpel mengontrol tidak. Karena polisi didik PHH ya bawa tameng. Bawa alat pemadam kebakaran. Ibaratnya petani kalau tidak bawa cangkul ya buat apa," lengkapnya.

Dia juga sempat mengingatkan, jika sebisa mungkin masyarakat ataupun negara, untuk tidak menghapus dan mengurangi intuisi alami polisi dalam pengamanan, terutama saat kericuhan.

"Mereka terlatih intuisi. Intuisi itu dua tahap di atas rasional. Dia tahu kapan ini ditembakkan kapan tidak. Menurut saya, sklii intuisi polisi jangan dibunuh atau dimatikan karena peristiwa ini," tandas Koentjoro.

Untuk diketahui, tiga polisi yang menjadi terdakwa itu adalah AKP Hasdarmawan selaku Danki 3 Brimob Polda Jatim, Kompol Wahyu Setyo Pranoto selaku Kabag Ops Polres Malang, dan AKP Bambang Sidik Achmadi selaku Kasat Samapta Polres Malang. 

Kontributor : Dimas Angga Perkasa

Load More