Budi Arista Romadhoni
Selasa, 30 September 2025 | 07:43 WIB
Ilustrasi pondok pesantren. [ChatGPT]
Baca 10 detik
  • Ponpes Al Khoziny Buduran diyakini berdiri sejak awal 1920-an, bahkan lebih dari satu abad, melahirkan banyak ulama dan tokoh penting di Nusantara.
  • Jaringan keilmuan pesantren ini terhubung erat dengan pesantren besar di Jawa, menjadikannya pusat pendidikan Islam berpengaruh di Sidoarjo dan sekitarnya.
  • Tragedi robohnya asrama jadi pukulan berat, namun juga peringatan pentingnya standar keselamatan demi kelangsungan pesantren sepuh ini.

SuaraJatim.id - Pondok Pesantren Al Khoziny, salah satu pesantren tertua di Sidoarjo, diguncang musibah besar. Asrama putra berlantai tiga di dalam kompleks pesantren itu roboh secara tiba-tiba.

Santri berhamburan keluar mencari selamat, sementara aparat dan relawan bergegas masuk untuk membantu evakuasi.

Tim gabungan dari BPBD, TNI-Polri, tenaga medis, hingga relawan saat ini tengah berjibaku melakukan evakuasi para santri. Suasana duka menyelimuti keluarga besar pesantren, mengingat Al Khoziny merupakan salah satu pesantren tertua yang memiliki sejarah panjang di Jawa Timur.

1. Pesantren Sepuh di Buduran

Ponpes Al Khoziny berdiri di Jalan KHR Moh Abbas I/18, Desa Buduran, Sidoarjo. Nama Al Khoziny diambil dari pendirinya, KH Raden Khozin Khoiruddin.

Namun sebagaimana dilansir dari NU Online, masyarakat lebih akrab menyebutnya sebagai Pesantren Buduran, sesuai nama desa tempat pesantren itu berada.

Kiai Khozin sepuh, demikian beliau disapa, adalah menantu KH Ya’qub, pengasuh Pesantren Siwalanpanji pada periode ketiga. Dari sinilah jejaring keilmuan pesantren ini berakar kuat.

Tercatat sejumlah ulama besar pernah berguru di Siwalanpanji, di antaranya KH M. Hasyim Asy’ari (pendiri Pesantren Tebuireng Jombang), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas Jombang), hingga KH As’ad Syamsul Arifin (Situbondo).

Jaringan ulama yang terhubung melalui Siwalanpanji ikut menguatkan reputasi Al Khoziny Buduran sebagai pusat ilmu yang berpengaruh.

Baca Juga: Evakuasi Korban Ponpes Ambruk di Sidoarjo Terus Berlanjut Hingga Malam

Foto udara bangunan musala yang ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Kecamatan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025). [ANTARA FOTO/Umarul Faruq/nz]

2. Perdebatan Tahun Berdiri

Seiring berjalannya waktu, ada perbedaan pandangan terkait tahun berdirinya Pesantren Al Khoziny. Sejumlah artikel dan jurnal menuliskan bahwa pesantren ini berdiri pada 1926 atau 1927.

Namun, menurut KHR Abdus Salam Mujib, pengasuh generasi ketiga sekaligus Rais PCNU Sidoarjo, data tersebut tidak sepenuhnya tepat.

Dalam acara Haul Masyayikh dan Haflah Rajabiyah ke-80 tahun 2024, Kiai Salam Mujib menyampaikan bahwa pesantren ini sudah ada sekitar tahun 1920.

Cerita ini bermula ketika ia menerima kunjungan rombongan dari Yogyakarta. Ketua rombongan yang berusia 70-an tahun itu bercerita bahwa ayahnya adalah santri pertama KH Moh Abbas bin KH Khozin Khoiruddin di Buduran, sekitar tahun 1920.

Sang ayah disebut sempat nyantri di berbagai pesantren lain, termasuk Buntet di Cirebon dan beberapa pesantren di Jawa Tengah, sebelum akhirnya menimba ilmu di Buduran.

3. Santri Pertama, Titik Awal Sejarah

Menurut penuturan Kiai Salam Mujib, orang tua ketua rombongan tersebut tinggal di Buduran selama lima tahun pada awal 1920-an, tepatnya ketika pesantren diasuh oleh KH Abbas Buduran. Jika ditarik mundur, maka awal mula pesantren ini bisa berada di rentang 1915–1920.

Dengan catatan itu, berarti Pesantren Al Khoziny telah berdiri lebih dari satu abad. Sayangnya, kisah awal ini tidak terdokumentasikan secara rapi sehingga menyisakan ruang bagi berbagai versi sejarah.

Meski begitu, keyakinan Kiai Salam Mujib semakin kuat setelah mendapat konfirmasi dari Dr. Wasid Mansyur, penulis biografi KH Abdul Mujib Abbas. Dr. Wasid mengakui pernah mendengar langsung kisah serupa dari Kiai Salam Mujib dan sejumlah alumni sepuh pesantren.

4. Lebih dari Satu Abad Mengabdi

Jika kisah ini diyakini, maka usia Al Khoziny Buduran saat ini sudah menginjak satu abad lebih empat tahun. Selama itu pula pesantren ini berperan melahirkan kader-kader ulama, guru agama, dan tokoh masyarakat yang tersebar di berbagai daerah.

Sejarah panjang tersebut membuat Al Khoziny bukan hanya milik warga Sidoarjo, tetapi juga bagian dari khazanah pesantren Nusantara.

Pesantren Buduran meneguhkan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang konsisten mengajarkan ilmu agama sekaligus membentuk akhlak.

Di tengah perubahan zaman, peran pesantren ini tetap relevan, apalagi dengan ikatan sejarahnya yang dekat dengan pesantren-pesantren besar di Jawa.

5. Tragedi di Tengah Warisan

Bangunan Ponpes Al-khoziny Sidoarjo yang ambruk, Senin (29/9/2025). [Basarnas Surabaya]

Di balik sejarah yang panjang, musibah robohnya gedung asrama menjadi pukulan berat. Insiden ini mengingatkan bahwa selain menjaga tradisi keilmuan, perhatian terhadap infrastruktur juga krusial.

Bupati Sidoarjo sebelumnya menegaskan pentingnya pembangunan yang sesuai standar keselamatan agar tidak lagi menelan korban.

Bagi para santri dan alumni, musibah ini bukan sekadar kehilangan bangunan, melainkan ujian untuk tetap menjaga keberlangsungan pesantren yang telah berdiri selama lebih dari seabad.

Doa dan dukungan terus mengalir dari berbagai pihak, agar Al Khoziny Buduran dapat bangkit kembali, memperbaiki sarana prasarana, dan melanjutkan perannya sebagai salah satu benteng pendidikan Islam di Jawa Timur.

Sejarah Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam ini sudah hadir sejak awal abad ke-20. Usianya yang menembus lebih dari seratus tahun menandakan kontribusi besar terhadap dunia pesantren dan masyarakat.

Kini, pasca tragedi ambruknya gedung asrama, Al Khoziny menghadapi tantangan baru: memperkuat fondasi fisik agar selaras dengan fondasi ilmu dan spiritual yang telah lama dibangun.

Kontributor : Dinar Oktarini

Load More