Muhammad Yunus
Kamis, 16 Oktober 2025 | 21:11 WIB
Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) Nusa Tenggara Barat, K.H. M. Iqbal Mansyuri (kanan) tampil di podcast "Seputar Pesantren" yang digelar Perum LKBN ANTARA Biro Nusa Tenggara Barat, di Mataram, Kamis (16/10/2025) [Suara.com/ANTARA]
Baca 10 detik
  • Fenomena yang tengah ramai diperdebatkan publik terkait tayangan program "Xpose Uncensored" 
  • Tradisi memberi amplop disebut bukan transaksi ekonomi
  • Dalam budaya pesantren, santri dan masyarakat percaya bahwa berbagi rezeki dengan guru adalah cara mengharap berkah

SuaraJatim.id - Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU) Nusa Tenggara Barat, K.H. M. Iqbal Mansyuri, mengatakan tradisi memberikan amplop atau hadiah kepada ulama dan guru agama bukanlah praktik baru, melainkan telah dikenal sejak masa Rasulullah SAW.

Hal itu disampaikan Kiai Iqbal dalam podcast "Seputar Pesantren" yang digelar Perum LKBN ANTARA Biro Nusa Tenggara Barat, di Mataram, Kamis (16/10).

Podcast tersebut membahas fenomena yang tengah ramai diperdebatkan publik terkait tayangan program "Xpose Uncensored" salah satu stasiun televisi swasta nasional yang dinilai melecehkan kiai, pesantren, dan santri.

"Memberi hadiah kepada ulama atau guru agama itu bagian dari bentuk penghormatan dan kecintaan kepada orang berilmu. Tradisi ini sudah ada sejak zaman Rasulullah, ketika para sahabat memberikan hadiah sebagai tanda terima kasih,"ujar Kiai Iqbal, yang juga pengasuh Pondok Pesantren NU Al-Manshuriyah Ta'limusshibyan, Bonder, Lombok Tengah.

Menurut alumni Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, tersebut, tradisi memberi amplop bukan transaksi ekonomi, tetapi bagian dari ta'dzim (penghormatan) yang berakar pada nilai spiritual.

Dalam budaya pesantren, santri dan masyarakat percaya bahwa berbagi rezeki dengan guru adalah cara mengharap berkah ilmu.

"Kalau dilihat dari luar pesantren, mungkin tampak janggal. Tapi bagi kami, itu bentuk adab dan rasa terima kasih. Rasulullah sendiri menerima hadiah dari sahabat dan membalasnya dengan doa dan keberkahan," katanya.

Dalam podcast berdurasi sekitar 40 menit itu, Wakil Ketua Lembaga Dakwah PWNU NTB tersebut juga menyoroti pentingnya media memahami konteks budaya pesantren agar tidak salah tafsir.

Ia menilai pemberitaan yang tidak berimbang dapat menimbulkan luka sosial dan mencederai nilai luhur pesantren sebagai lembaga pendidikan moral dan spiritual.

Baca Juga: Khofifah Ungkap 'Rahasia' Muslimat NU Jadi Lebih Kuat: Talent DNA Jadi Kunci!

"Media perlu sensitif terhadap budaya. Jangan sampai niatnya mengulas fenomena, tapi justru menimbulkan kesalahpahaman yang melukai umat," ujarnya.

Kiai Iqbal berharap polemik terkait tayangan televisi itu menjadi pelajaran bersama bagi insan pers agar lebih berhati-hati dalam menampilkan konten yang menyangkut kehidupan keagamaan.

Ia juga mendorong agar antara media dan pesantren dibangun dialog berkelanjutan demi memperkuat literasi keagamaan dan kebangsaan di ruang publik.

"Pesantren dan media sama-sama punya misi mencerdaskan bangsa. Kalau keduanya saling memahami, maka lahir masyarakat yang bijak dan beradab," tuturnya.

Load More