SuaraJatim.id - Jurnalis Imigran, Yuli Riswati mendapatkan perlakuan tidak baik saat ia berada di penampungan tempat para imigran yang akan dideportasi. Bahkan, tempat tersebut menurutnya lebih buruk dari penjara.
Untuk diketahui, tempat penampungan Castle Peak Bay Immigration Centre (CIC) ini merupakan tempat untuk menampung warga asing sebelum dipulangkan ke negara asalnya. Mereka yang di sana berstatus sebagai pengungsi. Mereka disana untuk penentuan apakah mereka dideportasi atau melanjutkan revusi.
Menurut Yuli, saat ia ditahan selama 28 hari di tempat penampungan Castle Peak Bay Immigration Centre (CIC) tersebut, justru seperti camp militer. Bahkan, ia menilai jika saat ditahan mendapatkan perlakuan seperti tahanan militer.
"Seperti yang saya alami dan kesaksian saya sendiri, jika tinggal di CIC mereka mengaku bahwa keadaan perlakuan lebih parah dari penjara para kriminal. Kami diperlakukan dengan aturan yang sangat ketat, mandi air dingin mencuci baju dengan tangan itu pun ditempat tidur kami bersama baju basah yang kita pakai entah kapan keringnya, " ungkapnya saat ditemui di Surabaya, Selasa (3/12/2019).
Baca Juga:Selebgram Anak Bagian dari Eksploitasi? Ini Kata Pakar
"Kita senyum dikit kena hukum, ngobrol dikit kena hukum. Pokoknya gerakan kamu salah, dan itu justru malah membuat stres depresi daripada di penjara," lanjutnya.
Berbeda dengan penjara kriminal di Hong Kong, yang menurut Yuli justru lebih memperlakukan para tahanannya dengan manusiawi dan bisa mendapatkan hak-haknya serta aktivitas pribadi.
"Jadi ketika di penjara Lo Wu dan Tai Lam menurut pengakuan teman dari Filipina Bangladesh Indonesia dan Vietnam serta beberapa negara lain, Srilanka juga, mereka lebih diperlakukan secara manusiawi dengan hak haknya, misal hak makan tidur dan aktivitas pribadi akses kesehatan, seperti mandi ada fasilitas air hangat mencuci ada laundry dan sebagainya," jelasnya.
Saat menempati CIC, Yuli hanya menempati dua ruangan saja yakni ruangan siang dan malam. Ruang malam untuk jam 5 sampai jam 8 pagi, sementara ruangan siang jam 8 pagi 5 sore. Selama itu ia hanya duduk di dalam ruangan tersebut, seperti patung hanya mendengarkan instruksi dari luar ruangan.
"Setiap hari ada kunjungan dari kepala imigrasi, setiap jam 10 pagi mereka akan mengadakan sidak kemudian menanyakan apakah ada komplain atau hal-hal yang disampaikan. Kami pun hanya diperbolehkan menjawab good morning sir dan thank you sir," ucapnya.
Baca Juga:Dipertemukan dengan Pemerkosanya, Eks Budak Seks ISIS Murka sampai Pingsan
Yuli mengatakan, jika pernah suatu waktu ada seorang pengungsi yang berani mengajukan tangan bertanya kenapa mendapatkan perlakuan tak manusiawi.
"Pertanyaan itu tak diterima malah pada akhirnya dia dipindah ke single cell yang hanya untuk satu orang dan tidak boleh bertemu siapapun," ujarnya.
Selama masa penahanan, Yuli tak memiliki nama eksistensinya hanya ditentukan oleh angka 1672 (nomor tahanan). Bahkan, ia mengaku sempat mengalami depresi selama seminggu akibat pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas.
Ia merasa janggal dengan pemeriksaan itu , karena seharusnya diperiksa menggunakan baju. Tapi faktanya ia diperiksa secara telanjang. Karena bisa membaca aturan yang tidak sesuai, namun petugas menyampaikan jika Yuli tak punya form komplain.
"Awal yang membuat saya depresi selama seminggu yaitu saya kaget karena saya tak melakukan tindakan kriminal waktu itu mengalami pemeriksaan badan sampai telanjang. Saya nggak terima karena tak melakukan kejahatan apapun bahkan pengadilan tidak memvonis melakukan kejahatan, tapi kenapa saya mendapat perlakuan seperti ini," ungkap Yuli.
Dalam seminggu itu Yuli tak ingat apa aktifitas yang ia lakukan. Bahkan, para petugas tak berani menyentuhnya. Ia merasa seperti pusing dan ingin tidur saja dalam seminggu itu.
"Dalam seminggu saya seperti mengalami depresi dan lupa seminggu saya ngapain, awal masuk saya langsung disuruh bugil. Seperti penjahat kriminal, kenapa saya merasakan seperti ini?" tanyanya.
Padahal sebelum ditahan, Yuli mendapatkan hak-hak seperti di penjara pada umumnya di Hong Kong. Namun hal itu tak dirasakan sama sekali olehnya, untuk melakukan aktifitas pribadi berubah ibadah pun Yuli tak bisa melakukannya karena keterbatasan waktu.
"Saya pertama masuk di kasih hak hak, tapi di dalam situ tidak ada hak sama sekali. Jadi kami cuma ibadah jam 5 sampai jam 8 pagi itu saja. Hak kesehatan ini itu tertulis secara detail tapi tak seusai fakta. Saya diberikan akses dokter hanya ketika saya akan dideportasi. Saya juga mengalami mual muntah muntah dibiarkan, " jelasnya.
Kontributor : Arry Saputra