Cerita dari Tenda Warga Sumberagung yang Bersama Melindungi Gunung Salakan

Warga menganggap Gunung Salakan dan barisan bukit di sekitarnya sebagai harapan terakhir tempat evakuasi bila terjadi bencana tsunami.

Chandra Iswinarno
Senin, 13 Januari 2020 | 05:50 WIB
Cerita dari Tenda Warga Sumberagung yang Bersama Melindungi Gunung Salakan
Hari ke-6 sebagian warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, berkemah bersama di tenda untuk menolak aktivitas perusahaan tambang emas masuk ke Gunung Salakan, Minggu 12 Januari 2020. [Suara.com/Ahmad Su'udi]

SuaraJatim.id - Penolakan sebagian warga Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi terhadap usaha pertambangan emas di wilayah tersebut memasuki babak baru. Setelah tambang emas Gunung Tumpang Pitu di lokasi yang sama berproduksi lebih dari dua tahun, kini Gunung Salakan menjadi fokus warga yang yakin perusahaan tambang tengah memulai tahap menuju penambangan.

Telah enam hari warga yang didominasi penduduk Dusun Pancer, berkemah bersama di tenda terpal yang didirikan menggunakan bambu dan tali di tepi jalan desa. Dari sana memandang ke utara akan nampak barisan bukit hijau, yang dikenal di depannya dikenal dengan sebutan Bukit Gendruwo. Sementara di belakangnya ada bukit dengan puncaknya lebih runcing yang disebut Gunung Salakan.

Orang-orang datang dan pergi, duduk-duduk sambil berbincang, kadang makan bersama, di tenda yang berada di sudut bekas komplek tambak itu. Di depannya ada gang masuk ke utara yang dilengkapi rambu-rambu petunjuk jalur evakuasi bencana dan bisa digunakan menuju Gunung Salakan. Satu lagi jalur ke Salakan sekitar 200 meter ke arah barat atau menuju destinasi Pantai Mustika.

"Itu waktu ada gempa empat kali (Juli 2019), kami kan larinya ke situ," kata Adin (30) salah satu warga Pancer yang berjaga di tenda.

Baca Juga:Sejumlah Lubang Tambang Emas Ilegal di Lebak Dipasangi Garis Polisi

Dia menjelaskan, warga menganggap Gunung Salakan dan barisan bukit di sekitarnya sebagai harapan terakhir tempat evakuasi bila terjadi bencana tsunami. Lantaran, Gunung Tumpang Pitu yang menjadi benteng di garis pantai telah ditambang. Sebagian warga Desa Sumberagung, terutama Dusun Pancer, masih mengingat dahsyatnya tsunami tahun 1994 yang menewaskan 229 orang saudara dan tetangga mereka.

Adin mengatakan sejak awal warga mendirikan tenda, setiap hari mereka mengadang kelompok orang yang ingin menuju Gunung Salakan, kecuali hari keenam ini. Sebelumnya, setiap hari jumlah orang yang mereka hadang di dua jalur itu semakin bertambah, termasuk personel kepolisian yang mengawal.

"Kami masih sedikit, kami langsung ikut ke arah yang ke barat dan ke arah yang ke timur. Habis itu di situ kami adang, kami bilang setop jangan jalan, tapi tetap berjalan. Akhirnya, ya sampai ramai kayak gitu," kenang nelayan itu saat hari pertama penghadangan.

Salah satu jalan menuju Gunung Salakan, di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, yang dijaga warga setempat yang menolak penambangan emas di wilayah tersebut pada Minggu (12/1/2020). [Suara.com/Ahmad Su'udi]
Salah satu jalan menuju Gunung Salakan, di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, yang dijaga warga setempat yang menolak penambangan emas di wilayah tersebut pada Minggu (12/1/2020). [Suara.com/Ahmad Su'udi]

Selain antisipasi menghadapi bencana, dia mengaku kini mencari ikan di laut semakin sulit setelah Gunung Tumpang Pitu ditambang. Bila dahulu melaut dua hari ikan sudah penuh di perahunya, kini butuh waktu empat hari karena stok ikan semakin menjauh dari darat. Pun pengeluaran untuk bahan bakar minyak (BBM) juga meningkat dari Rp 2 juta menjadi Rp 8 juta untuk sekali berangkat, saat ini.

Beberapa orang warga yang ditemui Suara.com tidak bersedia diwawancara. Beruntung Adin mau menceritakan kondisi mereka yang juga mendapatkan sumbangan bahan makanan dan obat dari warga lain.

Baca Juga:Biang Kerok Bencana Lebak, Jokowi Perintahkan Tambang Emas Ilegal Disetop

Dari dua tenda yang terpasang, salah satunya menjadi dapur umum. Mereka bertahan di tengah angin kencang musim hujan seperti itu untuk melindungi perbukitan di belakang pemukiman.

Untuk diketahui, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Banyuwangi nomor 08 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012-2032, pasal 61 menyebutkan ketentuan area tambang emas, perak dan tembaga dengan luas sekitar 22.600 hektare. Kawasan tersebut termasuk dalam Kecamatan Pesanggaran dan Kecamatan Siliragung.

Pun kemudian, terbit juga Perda nomor 11 tahun 2015 yang mengatur wilayah tersebut sebagai kawasan strategis yang memiliki penetapan RTRW tersendiri. Tahun 2016 kemudian Tambang Emas Tumpang Pitu menjadi obyek vital nasional (Obvitnas) yang menghalangi akses masyarakat masuk sebagai bentuk perlindungan terhadap kawasan.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim F Trimbore Christanto, dalam rilis yang dikeluarkannya, mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melakukan investigasi permasalahan warga Desa Sumberagung. Apalagi dalam catatan mereka, kontroversi pro dan kontra tambang di desa itu telah menyebabkan 13 orang menjadi korban kriminalisasi.

Trimbore mendesak Pemerintah beserta Polri menarik seluruh aparat keamanan dari Desa Sumberagung. Pihaknya juga mendesak Komnas HAM memantau secara langsung kondisi di lapangan agar dapat melakukan pengumpulan data secara langsung terakit kemungkinan pelanggaran, kususnya pelanggaran HAM.

"Dan memberikan dukungan kepada warga Sumberagung yang sedang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman industri pertambangan," tulisnya.

Kontributor : Ahmad Su'udi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini