SuaraJatim.id - Kebingungan tengah melanda para Guru Tidak Tetap atau GTT maupun Pegawai Tidak Tetap (PPT) di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Nasib mereka tengah terkatung-katung karena tidak ada kejelasan.
Masalah pelik yang dihadapi para GTT dan PTT di Jember adalah gaji yang kecil dan sering telat, pemutasian yang semrawut serta tidak menerima surat keputusan (SK).
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jember Supryono mengatakan, GTT - PTT mulanya diangkat oleh kepala sekolah. Sejak tahun 2018 pengelolaan GTT - PTT diambil alih oleh Bupati Jember Faida, sehingga surat penugasan (SP) yang mereka terima langsung dari bupati.
"Daerah tidak angkat guru (GTT), yang angkat kepala sekolah, diambil alih oleh bupati," kata Supryono saat dihubungi, Sabtu (18/1/2020).
Baca Juga:Geger Pohon Menangis di Jember, Bikin Warga Merinding Lari Terbirit-birit
Dia mengatakan, Bupati Faida yang ingin memperkecil angka kekurangan guru di daerahnya telah menerbitkan SP. Padahal harusnya, penambahan dilakukan dengan SK untuk mengakui ikatan kerja guru non PNS.
Ia mengungkapkan, di 900 SD yang ada di Kabupaten Jember, rata-rata kekurangan hingga lima orang guru PNS di tiap sekolah. Penambahan guru dengan mengambil alih penerbitan SP dari kepala sekolah oleh bupati menimbulkan banyak kerugian.
Pertama, kata dia, kecilnya honor yang mereka dapatkan. Bahkan untuk yang telah puluhan tahun mengabdi mengajar. Pemkab Jember mengatur honor GTT-PTT dalam tiga kategori dengan anggaran dana BOS dan program pendidikan gratis (PPG).
Kategori A untuk yang telah mengajar 1 sampai 7 tahun diberi honor Rp 350 ribu per bulan. Sementara kategori B yang mengajar 7 - 14 tahun, Rp 750 ribu. Lalu kategori C untuk yang lebih dari 20 tahun mendapatkan honor Rp 1,4 juta per bulan.
"Bayangkan yang sudah mau pensiun saja gajinya hanya Rp 1,4 juta, kasihan sekali," kata Supryono.
Baca Juga:Manfaatkan Rapat Hak Angket, Guru dan PTT Jember Adukan Bupati ke Dewan
Selain itu, pemutasian yang diputuskan Bupati Faida menimbulkan penempatan guru yang tidak tepat. Di antaranya terlalu jauh dari tempat tinggal mereka atau justru tidak mendapat posisi di sekolah yang baru.
Kerugian lainnya adalah menghalangi GTT mendapatkan tunjangan sertifikasi. Kalau mereka mendapatkan SK dari Pemkab Jember, bukannya SP, akan mendapatkan tunjangan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
"Kalau guru dapat SK akan membantu daerah. Karena guru bisa ikut sertifikasi dan dibayar pemerintah pusat," ucapnya.
Sebelumnya dalam rapat angket di DPRD Jember, Ketua Asosiasi GTT-PTT Jember Halil Ediyanto menceritakan kesemrawutan mutasi di daerah yang dijuluki Kota Seribu Gumuk itu.
Dikatakannya, ada GTT - PTT yang dimutasi dengan SP oleh bupati sampai empat kali dalam setahun. Sebagian GTT - PTT malah pernah hanya satu bulan bertugas di sebuah sekolah setelah dipindah, lalu dipindah lagi.
Cerita lain datang dari SDN 1 Karang Paiton di Kecamatan Ledokombo, yang memiliki empat orang penjaga sekolah. Normalnya satu sekolah memiliki seorang penjaga sekolah dan seorang lagi penjaga malam.
Hanya dengan berbekal SP GTT dan PTT rentan tidak mendapatkan haknya karena tidak memiliki ikatan kerja yang kuat. Kepala sekolah bisa menolak mereka bila di sekolah itu posisinya telah terisi.
"Kami tidak mau terima SP lagi, tapi ingin menerima SK," kata Halil.
Bupati Faida saat dihubungi melalui aplikasi pesan untuk menjawab keluhan itu tidak menanggapi. Namun dari rilis yang diterbitkan Humas Pemkab Jember, Bupati Faida telah menetapkan sendiri SP untuk GTT-PTT pada tahun 2018 dan 2019.
Kontributor : Ahmad Su'udi