SuaraJatim.id - Di Jember ada tradisi Patongan Tompo’an, yaitu menabung beli sapi untuk hidangan Lebaran. Olahan daging sapi seolah menjadi santapan wajib bagi sebagian masyarakat muslim di Hari Raya Idul Fitri.
Tak heran, jika menjelang Lebaran, harga daging sapi melambung. Masyarakat di Desa Sidomukti, Kecamatan Mayang, Jember punya siasat tersendiri untuk menyiasati hal tersebut. Yakni dengan tradisi Patongan Tompo’an.
“Tradisi ini sejak saya kecil sudah ada. Kata nenek kakek, sudah sejak zaman penjajahan Belanda, warga menerapkan tradisi ini,” ujar Hafit Izza, salah satu tokoh masyarakat setempat saat diwawancarai Jatimnet.com (jaringan Suara.com), Sabtu (23/5/2020) kemarin.
Kondisi pandemi Covid-19 yang banyak memukul sendi-sendi perekonomian warga tidak terlalu berpengaruh dalam pelaksanaan tradisi ini. “Karena warga sudah menabung sejak jauh-jauh hari,” kata Hafit.
Baca Juga:Bahagia Lebaran Bareng Suami, Penampilan Vanessa Angel Bikin Salfok
Sebutan Patongan Tompo’an berasal dari bahasa Madura sesuai kultur masyarakat desa setempat. Patongan artinya menabung bersama-sama, sedangkan Tompo’an artinya daging yang ditumpuk-tumpuk.
“Karena setelah sapi dibeli dan dipotong, dagingnya dijejer (ditata berjajar) di ruang terbuka seperti lapangan atau balai desa untuk dibagi bersama,” ujar Hafit.
Tradisi Patongan Tompo’an adalah perwujudan spirit kebersamaan dan gotong royong ekonomi warga desa. Selama setahun, warga menabung bersama-sama dengan jumlah uang atau setoran yang berbeda sesuai kesepakatan.
“Besaran tabungan nantinya juga akan mempengaruhi besaran porsi daging sapi yang diterima,” tutur Hafit.
Kesepakatan jumlah iuran dibuat sejak setahun sebelum Lebaran. Besarnya bisa mulai Rp500 hingga Rp5.000. Pembayaran iuran bisa dilakukan setiap hari atau tiap pekan sesuai kesepakatan di awal.
Baca Juga:Lebaran, 118 Orang di Jakarta Terinfeksi Virus Corona, 1 Pasien Meninggal
Iuran tabungan disetorkan ketika kegiatan masyarakat seperti tahlilan.
“Kita biasanya bayar iuran ketika ada pengajian yasinan yang rutin digelar tiap kelompok warga desa,” kata Hafit yang juga Ketua PAC Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kecamatan Mayang.
Walau nominal iuran tergolong kecil, warga melakukan pencatatan dengan rapi. Nominal iuran yang dikumpulkan tiap-tiap individu akan menjadi dasar besaran dari jumlah daging sapi yang didapat.
“Umpama iurannya ada yang total setahun Rp700 ribu, lalu dikonversikan mendapatkan daging 9 kilogram yang terdiri 6 kilogram daging kualitas bagus, 1,5 kilogram daging untuk rawon, 1 kilogram tulang, dan 0,5 kilogram jeroan. Tiap tahun harga sapi hidup bervariasi," ujar Hafit.
Sapi hidup biasanya dibeli beberapa hari menjelang Lebaran dan diletakkan di lapangan desa atau ruang terbuka lain.
Di masa lalu, tradisi ini lekat dengan unsur penyiksaan hewan. Entah atas dasar apa, sapi hidup yang baru dibeli, akan diberi stempel khusus pada bagian pantatnya sebagai pertanda sapi dalam keadaan sehat dan layak di konsumsi.
Pemberian stempel dilakukan dengan menempelkan besi panas sehingga meninggalkan luka memerah pada pantat sapi.
“Tetapi sekarang sudah tidak ada lagi, karena warga mulai sadar bahwa hal seperti itu tidak baik, menyiksa hewan, apalagi yang akan disembelih untuk dikonsumsi,” tutur Hafit.
Yang pasti, membeli sapi hidup secara kolektif menjadi cara warga untuk mendapatkan daging sapi yang tidak hanya lebih murah, tetapi juga terjamin kesehatannya karena warga melihat sendiri sapi sebelum disembelih.
“Melalui tradisi ini, kita dapat merayakan Lebaran dengan menikmati hidangan olahan daging sapi yang lezat dan bergizi. Lebih meringankan di saat harga kebutuhan melonjak pada hari Lebaran,” kata Hafit.
Hal itu juga dirasakan Mukaromah, ibu rumah tangga warga Desa Sidomukti yang menjadi peserta tradisi Patongan Tompo’an.
“Biasanya menjelang Lebaran, harga daging mahal di pasar. Dengan ini kita bisa dapat yang lebih murah dan sehat,” ucap Mukaromah.