“Tahun ini luar biasa. Mana mungkin dalam jarak radius kurang lebih seribu meter (dari SMA negeri), ada 170 siswa SMP dengan usia yang sama dan lulusan tahun ajaran 2020,” katanya keras.
“Saya sebagai sesama orangtua menjadi tidak nyaman. Mengapa siswa yang rumahnya di Kelurahan Muktisari, menggunakan SKD di Jalan Jawa, bisa masuk. Sebegitu mudahkah SKD mengubah domisili kependudukan, kata David.
Sebagian orangtua menolak melakukan kecurangan dengan membuat SKD dadakan untuk memuluskan sang anak masuk SMA negeri tujuan. Namun, menurut David, justru anak-anak mereka jadi bahan ejekan.
“Akhirnya perkembangan anak didik tidak sehat. Dalam pendidikan, hukum tertinggi adalah kejujuran. Saya tidak ingin hak-hak anak saya dirampas,” katanya.
Baca Juga:Digelar 9-12 Juni, Kuota Zonasi PPDB Jember Berkurang 50 Persen
Decky, orangtua siswa lainnya, sempat bertengkar dengan sang anak karena tak mau memanipulasi SKD agar bisa masuk SMA Negeri 1 yang berjarak sekitar 1,1 kilometer. “Anak saya tidak mau memilih SMA. Akhirnya diterima di SMAN 3, saya harus memaksanya. Dia kecewa sekali dan bilang: ‘kenapa Ayah tidak mau kasih surat domisili?’ Lho buat apa, wong rumah saya (dekat) di sini. Kan lucu,” katanya.
Dia mempertanyakan begitu mudahnya pemerintah mengeluarkan SKD.
Ketua Komisi D Hafidi menilai persoalan ada pada penyalahgunaan kewenangan oleh birokrasi. “Kedua, manipulasi data kependudukan dengan maksud tertentu. Hal ini harus segera kami sikapi,” katanya.
Ia berjanji pekan depan menggelar rapat gabungan dengan Komisi A yang membidangi urusan kependudukan.