Banyak Kepala Daerah Kena Corona, Epidemiolog: Seminggu Sekali Wajib Rapid

Menurut Windhu, dalam lingkup pemerintahan secara berkala harus dilakukan tes rapid hingga melakukan swab/PCR.

Chandra Iswinarno
Senin, 24 Agustus 2020 | 15:41 WIB
Banyak Kepala Daerah Kena Corona, Epidemiolog: Seminggu Sekali Wajib Rapid
Tim Kajian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya, Dr Windhu Purnomo [Istimewa]

SuaraJatim.id - Fenomena banyaknya pemimpin hingga pejabat daerah yang positif Virus Corona atau Covid-19 hingga menyebabkan meninggal dunia, kini mulai menjadi sorotan. Terakhir, Plt Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin dinyatakan meninggal akibat Covid-19.

Banyaknya agenda rapat pertemuan secara tatap muka selama masa Pandemi Covid-19, menjadikan pejabat publik rentan tertular virus asal Kota Wuhan tersebut.

Merespon fenomena tersebut, Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengatakan, protokol kesehatan yang ketat seharusnya sudah dilakukan mulai dari pejabat publik baik yang melakukan kunjungan hingga menerima tamu di rumahnya secara pribadi.

"Ini berlaku untuk semua, tidak hanya kepala daerah saja. Pimpinan nasional siapapun itu. Entah menteri, bupati, gubernur bahkan sampai presiden. Itu harus mempunyai protokol yang jauh lebih ketat karena mereka pemimpin," kata Windhu kepada SuaraJatim.id, Senin (24/8/2020).

Baca Juga:Muncul Klaster COVID-19 di Pabrik Tangerang, 43 Buruh Positif Corona

Menurut Windhu, dalam lingkup pemerintahan secara berkala harus dilakukan tes rapid hingga melakukan swab/PCR.

"Kalau non-reaktif diulang seminggu sampai 10 hari yang akan datang, kalau reaktif harus masuk swab tes. Itu harus dilakukan secara rutin minimal seminggu sekali," tuturnya.

"Atau ya, kalau misalnya, pimpinan daerah makin ke bawah levelnya ya dua minggu sekali lah. Presiden seminggu sekali dilakukan. Di kalangan asisten rumah tangga seminggu sekali harus swab test dilakukan. Menerima tamu harus berlapis, semua protokol harus dilakukan," tambahnya.

Windhu mencontohkan, apabila ada pertemuan dengan presiden, atau bupati bertemu dengan menteri maka sebelum berangkat pertemuan harus melakukan tes swab. Pihak yang akan di datangi pun juga harus melakukan hal yang sama.

"Kecuali kalau pertemuannya betul-betul tidak bertemu bertatap muka. Karena kita sering masih membutuhkan tatap muka. Ya jadi tatap muka harus dihindari dan dikurangi. Kecuali kerahasiaan dan confidensial 4 mata. Kecuali online," ujarnya.

Baca Juga:1 Pasien COVID-19 'Kepala Batu' Bikin 14 Warga Tasikmadu Positif Corona

Windhu pun tak memungkiri bahwa biaya yang dikeluarkan untuk menerapkan protokol kesehatan yang lebih ketat itu cukup tinggi. Namun, dengan pengketatan itu maka resiko penularan atau terkena virus Covid-19 kemungkinannya sangatlah kecil.

"Memang biaya yang dikeluarkan tinggi, tidak hanya uang tapi ada cost sosial dan sebagainya. Tapi di balik semua itu pasti ada hasilnya. Jadi harus betul-betul ketat protokolnya. Jadi harus berbeda dengan orang biasa," katanya.

Sementara itu, mengenai sumber penularan yang mengakibatkan Plt Bupati Sidoarjo meninggal akibat Covid-19 masih belum diketahui. Sejauh ini pihak Pemkab sudah melakukan tracing dan swab tes.

Untuk mengetahui sumber penularan dan menghentikannya maka orang yang pernah kontak 14 hari terhadap Cak Nur harus di tracing dan di swab.

"Jadi selama 14 hari sebelumnya beliau itu ketemu sapa saja. Ketemu siapa saja 14 hari itu. Nanti baru ketahuan sebenarnya penularan terjadi di mana. Positif juga bisa diselidiki dia yang menulari atau yang ditulari. Jadi tracing yang masif dan cepat itu akan membuka penularannya dimana dan siapa yang menulari," jelasnya.

Kontributor : Arry Saputra

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini