Namun, menurutnya, sebagian besar penyintas mencabut laporan kasusnya. Sebab mereka menganggap hal itu sebagai aib dan tidak ingin dipublikasikan pada khalayak.
"Banyak, tapi saat setelah dilaporkan, korban atau penyintas mundur (dari proses menggugat). Ada juga yang orang tuanya belum tahu, kami bantu untuk soal surat menyurat. Tiba-tiba juga gitu, di pertengahan jalan juga menyerah (mencabut gugatan). Itu dianggap aib dia, kalau sudah blow-up nanti banyak orang tahu dan masa depan dia terganggu," katanya.
Selain itu, LBH juga menerima konsultasi kasus kekerasan perempuan dan anak. Konsultasi tersebut bisa dilakukan dengan mendatangi Kantor LBH Surabaya. Namun pada masa Pandemi Covid-19, pelaporan bisa disampaikan melalui email.
"Tapi kalau tidak paham sistem online, kita menerima konsultitasi offline. Akan dilakukan pendampingan sampai kasus selesai," jelasnya.
Baca Juga:Kekerasan Terhadap Perempuan Meningkat, DPR: RUU PKS Perlu Segera Disahkan
Apabila isunya adalah perenpuan maka LBH akan mendampingi. Namun sebelum LBH mengiyakan untuk dilakukan pendampingan, pihaknya akan gelar perkara terlebih dahulu untuk memastikan bahwa kasus tersebut bukan kasus bohongan.
"Karena kita juga nggak mau kecolongan. Terkadang ada klien itu ada yang bohong dengan informasi yang disampaikan ke kita. Jadi nggak semuanya nanti bisa didampingi. Kita harus kroscek dulu data yang sebenarnya seperti apa. Ketika itu bisa dianggap sesuai, kita bisa dampingi," katanya.