Sementara tiupan ke tiga disebut nafkhotul ba’tsi wan nusyuur, pada tiupan ini semua mahluk hidup akan dibangkitkan.
Tiupan sangkakala ke dua dan ke tiga ada dalam firman Allah Ta’ala, sebagai berikut.
“Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar [39]: 68)
Dalil mengenai tiupan ke tiga juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
Baca Juga:10 Tugas Malaikat: Jibril Hingga Ridwan
“Dan ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka.” (QS. Yasin [36]: 51)
Sangkakala Ditiup Sebanyak Dua Kali
Sejumlah ulama yang menyatakan maiaikat Israfil akan meniup sangkakala sebanyak dua kali diantaranya, Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah, Al-Qurthubi dan Ibnu Hajar.
Menurut mereka, tiupan sangkakala tersebut dinamakan nafkhotul faza’ wa ash-sha’qi. Tiupan ini yang menyebabkan seluruh mahluk hidup terkejut sehingga menyebabkan kematian mereka. Menurut para ulama tiupan ini terjadi sebanyak dua kali, yakni, nafkhotul faza’ dan nafkhotu ash-sha’qi. Namun keduanya terjadi dalam satu waktu yang bersamaan, bukan tiupan yang terpisah.
Dalilnya adalah sebagai berikut.
Baca Juga:Pengertian Kiamat Sugra Adalah Serta Tanda-tandanya
“(Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam. Tiupan pertama itu diiringi oleh tiupan ke dua.” (QS. An-Nazi’at [79]: 6-7)
Para ulama tersebut juga berpegang pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
“(Jarak) antara dua tiupan adalah empat puluh.” (HR. Bukhari no. 4935)
Namun Abu Hurairah tida menjelaskan lebih lanjut makna dari empat puluh yang disebut dalam hadist tersebut. Apakah empat puluh detik, menit, jam, hari atau bulan. Mengenai hal ini, seorang ahli hadits bernama Ibnu Hajar menjelaskan bahwa jarak antara dua tiupan tersebut hanya Allah yang mengetahuinya.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Maksudnya, aku tidak bisa menjelaskan, karena aku tidak mengetahuinya. Maka aku tidak berbicara tentang hal itu hanya berdasarkan pendapat (logika).” (Fathul Baari, 11/370)