Mengapa Pernikahan Dini di Lamongan Tinggi?

Pertama, faktor ekonomi. Para remaja daerah itu meyakini dengan berumah tangga, kesulitan ekonomi akan dapat diatasi.

Siswanto
Minggu, 19 Desember 2021 | 15:54 WIB
Mengapa Pernikahan Dini di Lamongan Tinggi?
Ilustrasi pernikahan (unsplash/Alvin Mahmudov).

SuaraJatim.id - Mengapa angka pernikahan dini di Kabupaten Lamongan masih tinggi?

Pertama, faktor ekonomi. Para remaja daerah itu meyakini dengan berumah tangga, kesulitan ekonomi akan dapat diatasi.

“Masyarakat yang demikian kebanyakan secara geografis berada di pesisir pantai utara yang mata pencahariannya mengandalkan hasil laut dan industri. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya pengajuan perkara di PA dari pantura yang rata-rata berusia 16 sampai 18 tahun,” kata Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama  Lamongan Mazir.

Kedua, faktor kemajuan teknologi yang tak dibarengi dengan pertimbangan matang. Umumnya remaja dalam kondisi labil ketika mengambil keputusan.

Baca Juga:Kepala dan Lutut Pemotor Asal Bojonegoro di Tebas Pedang di Lamongan

“Banyak yang kurang berpikir panjang sebelum ke jenjang pernikahan, lantaran terlalu sering menonton tayangan di TV maupun media sosial yang kurang positif, bahkan juga pornografi. Sehingga banyak remaja yang meniru dan melakukan hal yang dilarang agama,” kata dia.

Ketiga, pengaruh industri dan perdagangan bebas.

Umumnya masyarakat yang tak lagi saling sapa dan apatis terhadap tetangga mereka. Orang tua kurang melakukan pengawasan pada anak. Mereka hanya memikirkan urusan kerja.

“Peran dari orang tua dalam hal ini sangatlah penting, dalam melakukan pengawasan dan memberikan teladan yang baik terhadap anaknya,” katanya.

Setelah Pantura, kawasan Babat hingga Sukorame menduduki urutan kedua dalam hal dispensasi nikah.

Baca Juga:Perumahan Warga Sampai Jalan Nasional di Lamongan Terendam Banjir

Mazir berkata hal itu juga dampak dari kemajuan teknologi dan industri yang tak diimbangi ajaran agama, sehingga memunculkan permasalahan yang kompleks.

“Selain itu, banyaknya pengajuan dispensasih nikah di daerah ini juga karena faktor rendahnya pendapatan secara ekonomi dan rendahnya kesadaran untuk menempuh pendidikan tinggi, sehingga orang tuanya menilai, dengan menikahkan anaknya, hal ini bisa menguranggi beban biaya keluarga,” kata dia.

Untuk menghadapi permasalahan yang kompleks, pemerintah mengkaji aturan lama Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, yang melibatkan lebih dari 100 Ulama, meliputi pakar Al-Quran, Hadits, dan Fikih.

“Semua sepakat kalau usia menikah bagi perempuan itu 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Meski awalnya menuai pro dan kontra, namun endingnya nyaman dan semua bisa menerima aturan,” katanya.

Pentingnya sosialisasi yang matang pada perubahan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 sehingga saat menuai pro kontra, masyarakat akan bisa lebih memahami dengan baik untung dan ruginya sehingga ke depan terwujud masyarakat yang madani.

“UU yang menjadi acuan kita ini sebaiknya terlebih dulu dilakukan perbandingan, sehingga aturan ini tak tumpang tindih saat diberlakukan. Artinya antara aturan satu dengan yang lain harus singkron,” katanya. [Beritajatim]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini