Hukum Menyerahkan Zakat Fitrah Satu Keluarga Langsung Kepada Satu Orang Mustahik, Boleh Atau Tidak?

Mengeluarkan zakat (Fitrah) di Bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang hukumnya wajib dikeluarkan oleh setiap muslim.

Muhammad Taufiq
Rabu, 27 April 2022 | 11:05 WIB
Hukum Menyerahkan Zakat Fitrah Satu Keluarga Langsung Kepada Satu Orang Mustahik, Boleh Atau Tidak?
Ilustrasi zakat fitrah anak - Zakat Fitrah Anak yang Orang Tuanya Bercerai. (Freepik)

SuaraJatim.id - Mengeluarkan zakat (Fitrah) di Bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang hukumnya wajib dikeluarkan oleh setiap muslim.

Zakat ini wajib dikeluarkan kepada semua yang mampu, baik budak ataupun merdeka, laki-laki ataupun perempuan, bayi ataupun dewasa, ia wajib menunaikannya.

Untuk anak yang belum akil baligh, kepala keluarga wajib menanggung zakat fitrah orang-orang yang wajib ia nafkahi. Menurut mazhab Syafi’i, zakat fitrah dikeluarkan sebanyak satu sha’ makanan pokok daerah orang yang berzakat—di Indonesia umumnya menggunakan beras.

Dikutip dari Nuonline, ada beberapa pendapat tentang ukuran satu sha’. Versi kitab al-Taqrirat al-Sadidah (Pasuruan: Darul Ulum al-Islamiyyah, h. 419-420), satu Sha setara 2,75 kg, versi lain dalam kitab serupa dari sebagian ulama setara dengan 3 kg.

Baca Juga:Berapa Besaran Zakat Fitrah 2022 Wilayah DKI Jakarta? Ini Penjelasan Baznas

Versi kitab Mukhtashar Tasyyid al-Bunyan (Yaman: al-Ma’ruf Huraidloh, h. 205) 2,5 kg. Ada juga versi Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil (Kairo: al-Quds, h. 37) mengatakan 2,04 Kg. Di antara beberapa pendapat tersebut masyarakat boleh memilih salah satunya.

Banyak cara dilakukan masyarakat dalam menenuaikan zakat fitrahnya. Sebagian menyerahkannya kepada petugas pengumpulan zakat setempat, ada juga yang mengeluarkannya sendiri.

Dalam memberikan jatah zakat per jiwa juga berbeda-beda. Sebagian membagi zakat fitrah setiap jiwa kepada orang yang berbeda, semisal zakat anaknya diberikan kepada si A, zakat fitrah istrinya diberikan kepada si B dan seterusnya.

Yang cukup menarik adalah pemberian zakat fitrah sekeluarga kepada satu orang mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) saja—jatah zakat tidak diberikan kepada orang lain. Pertanyaannya kemudian, bolehkah zakat fitrah sekeluarga diberikan kepada satu orang?

Menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i, zakat, termasuk zakat fitrah untuk setiap jiwa harus diberikan secara merata kepada seluruh golongan mustahiq zakat di daerah setempat.

Baca Juga:Zakat Fitrah Anak yang Orang Tuanya Bercerai, Seperti Apa Ketentuannya?

Standar minimal rata adalah membagikan zakat kepada tiga orang di setiap golongan mustahiq zakat yang berjumlah delapan. Semisal ada dua kelompok mustahiq zakat di daerah setempat, faqir dan gharim, maka jika zakat fitrah wajib dibagi kepada enam orang, dengan perincian tiga orang dari golongan faqir, tiga orang dari golongan gharim.

Jika aturan tersebut tidak diindahkan, maka wajib mengganti rugi kepada mustahiq zakat yang tidak diberi, berupa harta paling minimal yang bisa dihargai (aqallu mutamawwal).

Sebagian pendapat menyebut ganti ruginya adalah nominal harta yang sebanding dengan sepertiga zakat yang ditunaikan. Pengecualian berlaku untuk mustahiq berupa ‘amil (panitia zakat), boleh memberikan zakat kepada satu orang saja dari golongan ‘amil.

Aturan ini berlandaskan kepada ayat mengenai mustahiq zakat yang disampaikan dalam bentuk plural (jama’), al-fuqara’, al-masakin, dan seterusnya. Dalam gramatika Arab, minimal jama’ adalah tiga orang.

Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi mengatakan:

"Dan tidak boleh meringkas dalam memberi zakat atas jumlah yang kurang dari tiga orang dari setiap golongan mustahiq zakat yang ada delapan, kecuali ‘amil, maka boleh diberikan hanya kepada satu orang jika dengan satu orang tersebut terpenuhi kebutuhan. Maka jika zakat diberikan kepada dua orang dari setiap golongan, wajib mengganti rugi kepada orang ketiga berupa minimal harta yang bisa dihargai. Sebagian pendapat mengatakan ganti ruginya adalah sepertiga." (Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut al-Habib al-Gharib, hal. 213).

Berpijak dari teori tersebut, maka tidak boleh memberikan zakat fitrah sekeluarga kepada satu orang.

Namun menurut pendapat Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad bin Hanbal, zakat—termasuk zakat fitrah—boleh diberikan kepada satu orang mustahiq, tidak wajib diratakan kepada seluruh kelompok penerima (ashnaf), tidak pula harus diberikan kepada minimal 3 orang dari masing-masing ashnaf.

Pendapat tiga Imam ini juga difatwakan oleh banyak ulama dari kalangan Syafi’iyah, di antaranya Imam Ibnu ‘Ujail al-Yamani, Imam al-Ashba’i dan mayoritas ulama Muta’akhirin. Argumen dari pendapat ini bahwa pemberian zakat kepada minimal tiga orang di setiap ashnaf sulit untuk direalisasikan, terlebih zakat fitrah yang jumlahnya sedikit.

Syekh Abu Bakr bin Syatho mengatakan:

"Syekh Ibnu Hajar berkata dalam Syarh al-‘Ubab, berkata tiga imam dan banyak ulama (Syafi’iyah), boleh memberikan zakat kepada satu orang dari beberapa ashnaf. Ibnu ‘Ujail al-Yamani berkata, tiga permasalahan zakat yang difatwakan berbeda dengan pendapat al-Madzhab, kebolehan memindah zakat, kebolehan memberi zakatnya satu jiwa kepada satu orang, dan kebolehan memberi zakat kepada satu golongan." (Syekh Abu Bakr bin Syatho, I’anah al-Thalibin, juz.2, hal. 212).

Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur menjelaskan:

"Tidak ada keraguan bahwa menurut mazhab Syafi’i diwajibkan meratakan mustahiq zakat yang wujud dari beberapa golongan di dalam zakat (mal) dan zakat fitrah. Menurut mazhabnya tiga Imam, boleh meringkas atas satu golongan. Pendapat ini difatwakan oleh Syekh Ibnu Ujail, Syekh al-Ashba’i dan diugemi oleh mayoritas ulama muta’akhirin, karena sulitnya perihal (meratakan zakat). Boleh mengikuti pendapat-pendapat tersebut dalam memindah zakat dan memberinya kepada satu orang seperi fatwanya Syekh Ibnu ‘Ujail dan lainnya'." (Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hal. 219).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa zakat fitrah sekeluarga untuk satu orang mustahiq adalah persoalan yang diperdebatkan oleh ulama (ikhtilaf).

Menurut pendapat mayoritas mazhab Syafi’i tidak diperbolehkan, sedangkan menurut Ibnu ‘Ujail, al-Ashba’i dan mayoritas ulama muta’akhirin, diperbolehkan. Pendapat kedua ini senada dengan pendapatnya tiga Imam, Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal. Masing-masing dari dua pendapat tersebut boleh diikuti.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini