Tembakan Gas Air Mata dan Peristiwa 10 Tahun Lalu yang Terulang

Penggunaan gas air mata dalam pengamanan suporter di dalam stadion, terutama di tribun penonton memicu kritik dan kegeraman publik dalam tragedi Kanjuruhan Malang ini.

Muhammad Taufiq
Senin, 03 Oktober 2022 | 10:16 WIB
Tembakan Gas Air Mata dan Peristiwa 10 Tahun Lalu yang Terulang
Tragedi Kanjuruhan Malang [Foto: akun Twitter @e_u10]

SuaraJatim.id - Penggunaan gas air mata dalam pengamanan suporter di dalam stadion, terutama di tribun penonton memicu kritik dan kegeraman publik dalam tragedi Kanjuruhan Malang ini.

Gas Air Mata ini disinyalir sebagai pemicu kepanikan yang berujung pada kerusuhan. Akibatnya, ribuan suporter yang panik di tribun kemudian berdesakan keluar hingga menyebabkan 448 korban, dan 125 diantaranya meninggal dunia.

Kerusuhan sendiri terjadi setelah tim Arema FC dikalahkan rivalnya Persebaya Surabaya dengan sekor 2-3. Kerusuhan pecah beberapa menit setelah laga berakhir. Polisi menembakan gas air mata untuk meredakan kerusuhan.

Gas air mata ini ditembakkan ke arah tribun penonton sehingga memicu kepanikan. Di dalam stadion itu tidak hanya berisi pria dewasa, namun ada anak-anak, orang tua, perempuan hingga remaja. Mereka berdesakan keluar.

Baca Juga:14 Tragedi Terbesar di Stadion Sepak Bola dalam 40 Tahun Terakhir

Baru-baru ini sebuah video menyesakkan dada viral. Dalam video itu terlihat bertapa pengapnya saat ribuan orang berjubel keluar dari tribun namun kondisi gerbang terkunci. Pria, wanita dan anak-anak berjubel berdesakan di tangga keluar stadion Kanjuruhan.

Sementara di dalam stadion, polisi menembaki suporter menggunakan gas air mata. Padahal, penggunaan gas air mata jelas melanggar aturan FIFA dalam Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19. Dalam aturan itu menegaskan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion.

Pristiwa di Kanjuruhan ini mengingatkan pada peristiwa serupa pada Minggu, 3 Juni 2012 silam di Stadion Gelora 10 Nopember Tambak Sari Surabaya. Harinya sama, Minggu. Saat itu Persebaya sebagai tuan rumah sedang menjamu Persija Jakarta. Skor akhir pertandingan sama kuat 3-3.

Bonek tidak puas sehingga terjadi insiden pelemparan. Namun polisi merespons ulah bonek dengan menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Suporter panik. Dan bisa ditebak yang terjadi selanjutnya.

Ribuan suporter meluber ke dalam lapangan. Ada juga yang berdesak-desakan ke pintu keluar stadion. Puluhan Bonek mengalami luka-luka akibat berdesakan antar penonton saat itu. Sementara satu orang dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit.

Baca Juga:Kisah Mencekam di Ruang Ganti Tragedi Kanjuruhan, Striker Arema Saksikan Korban Meninggal di Depan Mata

Lalu, 10 tahun kemudian peristiwa seperti itu terulang kembali. Tragedi Kanjuruhan tentu berbeda dengan di Tambak Sari Surabaya. Jumlah korbannya tidak sama dan eskalasi kerusuhan tidak sepadan. Namun pemicu dari kerusuhan itu bisa dibilang sama, yakni: Tembakan Gas Air Mata.

Inilah yang kemudian disorot oleh publik. Bonek pun tak kalah kerasnya menyuarakan persoalan tersebut. Di akun media sosial Twitter misalnya. Bonek mengkritik kepolisian terkait penggunaan gas air mata. Ini nampak dari akun Instagram Polres Malang.

Dalam salah satu unggahan sebelum laga Arema FC Vs Persebaya Surabaya, Polres Malang membuat ajakan suporter untuk tak membawa flare ke stadion. Namun kenyataanya polisi yang justru menggunakan gas air mata di dalam stadion yang penuh, bahkan banyak wanita dan anak-anak.

"Matikan flare, lempar gas air mata," sindir akun @dzak***.

"Aku Bonek pak. Tapi tindkan anggotamu gak masuk blas, cok!!!," tulis akun @ydst***.

"Aku Bonek tapi tindakanmu ngawur dengan menembak gas air mata dikira bisa bubar dengan kapasitas suporter full kaya gitu? Itu sama saja ada orang di dalam botol terus sampean semprot Baygon, itu penertiban atau penyiksaan," tulis akun @bond****.

Akun Twitter suporter Persebaya lainnya mengingatkan betapa gas air mata ini berbahaya bagi penonton di dalam tribun. Akun @e_u10 itu mengunggah dua foto epik saat kerusuhan tahun 2012 dan 2022. Dalam foto itu nampak seorang ayah yang seorang Bonek dan Aremania menggendong anaknya menyelamatkan diri di stadion.

Unggahan itu dikomentari warganet seperti ini: "10 tahun tetep saja tidak ada perubahan. Semoga orang2 @PSSI mundur dan rombak total
agar lahir sepak bola sehat di indo," tulis akun el patron @ohkick.

Sementara itu soal penggunaan gas air mata ini, Kapolri Jenderal Sigit Sulistyo mengatakan bakal mendalami terkait Standar Operasional Prosedur (SOP) dan tahapan yang dilakukan oleh satgas maupun tim pengamanan.

Termasuk informasi adanya upaya penyelamatan terhadap pemain serta offisial Persebaya dan Arema. "Semua kita dalami," ujarnya.

Nantinya menjadi satu bagian yang akan diinvestigasi secara tuntas. Baik dari sisi penyelenggara, pengamanan dan pihak yang perlu dilakukan pemeriksaan untuk menuntaskan memberikan gambaran peristiwa. "Sehingga ditemukan siapa yang nantinya bertanggungjawab," kata Listyo sigit menambahkan.

Sementara itu, untuk tindak lanjut investigasinya, Listyo Sigit mengatakan pihaknya bersama tim akan melaksanakan pengusutan terkait proses penyelenggaraan dan pengamanan.

Aremania deadline polisi 7 tangkap tersangkanya

Ratusan Aremania dari Malang Raya berkumpul di depan Stadion Gajayana Malang. Selain menyalakan lilin sebagai bentuk duka cita yang mendalam, para suporter ini juga melakukan pertemuan dadakan.

Salah satu perwakilan Aremania Gus Durian, Dersey, mengatakan jika pertemuan di depan Gajayana itu merupakan gerakan spontanitas para suporter setelah pecahnya tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang yang memakan ratusan nyawa.

"Ini kan spontanitas dari temen-temen Aremania korwil yang ada di Malang Raya dan di seluruh negeri yang merasa bagian dari Aremania. Pertama, ini sebagai bentuk empati atas meninggalnya dulur-dulur kita yang menjadi korban di Kanjuruhan kemarin, acara ini pure simpati, tidak ada yang menggerakkan dan mengalir apa adanya," ujar Dersey, Minggu (2/10/2022) malam.

Dalam pemanjatan doa dan pertemuan dadakan ini, tercetuslah keinginan suporter Singo Edan Malang agar Kepolisian segera mencari tersangka atas tragedi Kanjuruhan tersebut.

"Harus ada yang bertanggung jawab, siapapun itu namanya Panpel atau siapapun. Sampai terjadi insiden terbunuhnya Aremania harus ada yang bertanggung jawab. Karena tidak mungkin (terjadi) insiden seperti itu apabila tidak ada yang menggerakkan, dan kita betul-betul ingin proses hukum berjalan seadil-adilnya terhadap dulur-dulur kami yang meninggal," kata Dersey.

Aremania akan mengawal kinerja kepolisian guna melakukan pengusutan tragedi ini. Mereka juga mendesak polisi agar segera memutuskan siapa saja tersangka dan dalang di balik tragedi ini.

"Kami tidak akan mundur sejengkal pun, sampai proses hukum dan siapapun yang bisa menjadi tersangka, yang bertanggungjawab tragedi itu ditindak seadil-adilnya. Dan siapapun yang terlibat harus dibuka terang benderang, sebelum temen-temen Arema ini bergerak dengan cara-cara yang tidak prosedural," ujarnya.

Selain itu, Aremania juga akan mengikuti proses hukum yang berlaku, dan jika dalam waktu 7 hari kepolisian tak menetapkan tersangka, maka mereka akan turun ke jalan dengan massa yang cukup besar guna mencari tersangka sendiri.

"Kalau 7 hari tidak ada tersangkanya. Kita turun ke jalan, dan saya tidak bertanggung jawab kalau teman-teman ini bergerak di luar prosedural," ujarnya menegaskan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini