SuaraJatim.id - Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi sorotan akhir-akhir ini. Hal itu setelah artis Rizky Billar ditetapkan sebagai tersangka gegara mencekik dan membanting istrinya, Lesti Kejora.
Sebenarnya, KDRT ini kerap dialami para pasangan suami-Istri di negeri ini. Kasus hukum yang ditangani kepolisian pun tidak sedikit. Bahkan salah satu penyebab kasus perceraian di Indonesia adalah KDRT.
Oleh sebab itu, psikolog menyarankan beberapa cara yang bisa dipraktikkan para pasangan suami istri untuk mengelola emosi dalam pernikahan agar tidak berujung kepada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Hal ini disampaikan psikolog klinis dewasa Annisa Prasetyo Ningrum dari Universitas Indonesia, Jumat (14/10/2022). Ia mengatakan, salah satu caranya yakni meluangkan waktu untuk diri sendiri (me time) guna menjaga emosi tetap stabil.
Baca Juga:Rizky Billar Masih Ditahan, Hotma Sitompul Murka Hingga Tantang Kapolres Debat
"Luangkan waktu untuk me time agar kondisi emosi lebih stabil dan bisa me-refresh mood," katanya dikutip dari ANTARA.
Anggota Ikatan Psikologi Klinis Jawa Barat itu mengatakan saat sedang marah, sebaiknya jauhi sejenak sumber emosi dan cobalah untuk menenangkan diri.
Cara yang bisa dipraktikkan adalah dengan mengatur napas sehingga tubuh lebih santai dan kemarahan menjadi berkurang.
Kemudian, Annisa menyarankan untuk mengidentifikasi apa sumber yang memicu kemarahan, apa hal yang dirasakan serta apa yang diharapkan.
"Ketika emosi sudah lebih tenang, baru coba diskusikan masalah dengan pasangan," ujar dia.
Baca Juga:Meski Lesti Kejora Cabut Laporan, Rizky Billar Tak Otomatis Bebas
Berikan penjelasan kepada pasangan mengenai perasaan dari sudut pandang masing-masing, lalu ungkapkan apa yang diharapkan agar situasi kembali membaik.
Diskusi dengan pasangan dilakukan bukan untuk saling mencari pembenaran, tetapi untuk mencari jalan keluar dari masalah.
Sebagai pasangan suami istri, kompromi perlu dilakukan dan setiap orang harus memahami bahwa tidak ada pasangan yang sempurna. Semua orang pasti memiliki kekurangan dan hal itu harus diterima.
Dia berpesan untuk tidak gengsi atau malu untuk meminta maaf bila memang seseorang bersalah.
Bila butuh penengah, pasangan suami istri dapat meminta masukan dari keluarga bahkan bantuan profesional seperti psikolog atau konselor pernikahan, terutama bila diskusi antara suami dan istri tak kunjung membuahkan hasil yang diharapkan.
Untuk orang-orang yang sedang mencari pasangan untuk berumah tangga, Annisa menyarankan untuk mengenali lebih dalam karakter pasangan dan mengamati apakah ada "sinyal" berbahaya yang menunjukkan tendensi kekerasan.
Menurut dia, terkadang sulit untuk mengidentifikasi apakah seseorang berpotensi melakukan kekerasan setelah berumah tangga atau tidak. Sebab, biasanya awal hubungan berjalan baik dan lancar.
Namun, ada beberapa "sinyal" yang bisa jadi pertimbangan sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan.
"Beberapa hal yang bisa menjadi red flags seseorang berpotensi melakukan kekerasan diantaranya bersikap kasar atau membuat orang lain merasa takut atau terintimidasi," jelas dia.
Kemudian, waspada bila pasangan mudah merendahkan atau mempermalukan orang lain. Seseorang juga patut berhati-hati bila pasangannya punya sifat terlalu ingin mengontrol, termasuk membatasi siapa saja yang boleh berteman dan berinteraksi dengan pasangan, termasuk keluarganya sendiri.
Waspada bila pasangan kerap mengancam atau memaksakan kehendak, serta tidak terbuka terkait kondisi keuangan.
Pertimbangkan lagi hubungan bila pasangan tidak pernah mau berdiskusi dan selalu merasa ada di pihak yang benar ketika muncul konflik.
Pertanda lainnya bisa bervariasi, namun menurut Annisa biasanya kesamaan yang dimiliki oleh kebanyakan hubungan dengan kekerasan adalah pelaku kekerasan melakukan berbagai cara untuk tampak lebih dominan dan memiliki kendali atas pasangannya.