"Maka yang terjadi adalah, teknologinya kita bawa dari luar, kemudian uangnya kita bawa dari luar, terus kemudian kita anti asing. Kalau kita tidak mau asing masuk, berarti kita akan menjadi negara yang lambat dalam proses hilirisasinya," terangnya.
Bahlil juga mengingatkan, bahwa narasi-narasi negatif soal investasi asing juga dibangun oleh para elit politik yang dulunya juga mantan aktivis. Ia memastikan sebagai mantan aktivis yang kita berada di pemerintahan tidak akan melacurkan idealismenya.
Namun ia berpesan agar para elit politik untuk mencari narasi yang bagus dalam memenangkan kontestasi, agar tidak membuat pengkubuan di masyarakat. Karena di Indonesia, sebenarnya di Indonesia aman pertumbuhan ekonominya bagus, stabilitasnya bagus.
"Tetapi kita ditipu dengan isu-isu polarisasi yang tidak masuk akal, kampret-cebong, kayak tidak ada tema-tema lain yang lebih cerdas, bukan berarti saya tidak mengakui adanya polariasasi, barang itu sudah ada sebelum kita lahir, sejak Adam dan Hawwa ada, cuma harus diperlukan kecerdasan kita dalam mengelola," kata Bahlil.
Baca Juga:Presiden Jokowi Setujui Perpanjangan Masa Jabatan kades Jadi 9 Tahun, Pakar: Ada yang Tak Beres!
Jika polarisasi sudah terjadi, salah satu upaya untuk mengatasinya menurut Ketua Lakpesdam PBNU Ulil Abshar Abdallah adalah dengan mengimbau kepada pemengaruh (influencer) agar tidak ikut dalam kontenstasi politik tersebut.
Ia menyarankan para influencer puasa menahan diri tidak turun dalam acara dukung mendukung, melainkan justru mendinginkan suasana. "Saya mengajurkan tokoh-tokoh bisa disebut sebagai influencer itu sebaiknya tidak ikut terlibat dalam poltik dukung mendukung," kata Ulil.
Berbeda pendapat dengan Ulil, Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari khawatir saran Ulil tidak dijalankan oleh para influencer, karena ada contoh ulama yang mendukung calon.
Qodari memberikan saran paling fundamental yakni mengubah desain konstitusi, yakni pemenang pilpres cukup mayoritas sederhana dengan 40 persen ataupun 35 persen suara dalam satu putaran.
Menurut Qodari, aturan mengenai pemenang pemilu presiden harus 50 persen plus 1 menjadi persoalan terjadinya polarisasi. Dengan aturan tersebut maka calon dipaksa menjadi dua kubu, karena sangat sulit bagi calon manapun untuk menang dalam satu putaran.
Baca Juga:'Ini Kampanye Gratis, Terima Kasih', Santainya Anies Baswedan Diklaim Biang Kerok Polarisasi
Karena pemilihan diikuti multi partai, bila ada tiga calon dengan kekuatan relatif sama, sulit untuk bisa mencapai 50 persen plus satu dalam satu putaran. Yang pada akhirnya dibuat dua putaran. Jika ini terjadi maka akan mengalami pembelahan, dan polarisasi yang terjadi dengan dimensi keagamaan.