Scroll untuk membaca artikel
Agung Sandy Lesmana
Sabtu, 25 April 2020 | 14:53 WIB
Suciwati (kanan) istri mendiang aktivis HAM Munir Said Thalib di Polresta Malang. (Suara.com/Aziz Ramadani).

SuaraJatim.id - Suciwati, istri mendiang aktivis HAM Munir Said Thalib mendatangi Mapolresta Malang Kota, Sabtu (25/4/2020). Dengan didampingi anggota LBH, Suciwati melayangkan surat agar ketiga aktivis Kamisan Malang dibebaskan.

Ketiga aktivis tersebut, adalah Ahmad Fitron Fernanda, Alfian Aris Subakti dan Saka Ridho. Mereka ditangkap pada 19 April 2020, diduga melakukan penghasutan dengan mencoret (vandalisme) bertuliskan Tegalrejo Melawan.

Polisi kemudian menetapkan ketiganya sebagai tersangka dengan jeratan hukum UU I/1946 tentang peraturan hukum pidana pasal 14 dan 15, serta pasal 160 KUHP tentang Penghasutan dengan hukuman penjara 10 tahun.

"Kami berharap kinerja kepolisian semakin profesional, bukan malah mundur ke belakang (era Orba). Kalau kerja (penangkapan aktivis) tanpa surat itu namanya penculikan," kata Suciwati.

Baca Juga: Rumah Dekat Terminal, Seorang Ibu Jadi Pasien ke-16 Corona di Solo

Ia meyakini kasus ini hanya rekayasa kepolisian. Sama halnya dialami Dandhy Dwi Laksono, Ananda Badudu dan Ravio Patra yang belum lama ini terjadi.

"Teman - teman ini kan kayak jadi sebuah target untuk kemudian ditangkap. Karena selama ini sudah mendapingi beberapa kasus, seperti di Tegalrejo Kabupaten Malang, dan Tambang Tumpang Pitu Banyuwangi," jelasnya.

Istri Almarhum ini menjelaskan, bahwa ketiga pemuda yang ditangkap, selama ini aktif di Aksi Kamisan di Malang. Sejak diinisiasi di Jakarta, aksi Kamisan dilakukan secara damai.

"Sehingga tidak benar mereka ditangkap karena dianggap berbuat anarkis. Ini menjadi tanda tanya besar bagi kami," ujarnya.

Surat tersebut, lanjut dia, ditujukan utamanya kepada Presiden RI Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Idham Aziz.

Baca Juga: Kosong Melompong, Pemudik Gigit Jari saat Datangi Terminal Kp Rambutan

Lewat surat yang sama, rencananya juga akan dilayangkan dari Aksi Kamisan di berbagai daerah di Indonesia. Tujuannya tidak lain mendesak pembebasan para aktivis dengan jerat hukum mengada-ada.

"Siapapun bisa ditangkap tanpa prosedur yang jelas. Ini tidak boleh didiamkan. Maka kami tegas meminta mereka dibebaskan tanpa syarat," kata dia.

Sementara itu, LBH Pos Malang menuding penangkapan tiga aktivis Aksi Kamisan Malang janggal. Sebab, polisi menangkap mereka tanpa menunjukkan surat resmi.

"Berkaitan dengan penangkapan, kami diberitahukan orang tua Saka dan Alfian tidak ditunjukkan surat penangkapan, saat awal penangkapan, 20 April lalu," kata Perwakilan LBH Pos Malang, Lukman.

Ia melanjutkan, surat penangkapan serta penetapan tersangka kemudian diterima pihak orang tua, pada 21 April 2020.

"Tanggal 20 April ditangkap tapi tidak disertai surat, tapi dari surat penangkapan yang diterima orang tua, tertulis tanggal 19 April. Jadi menurut saya ada sesuatu hal terkesan dipaksakan," sambung dia.

Hingga saat ini, lanjut dia, sebagai kuasa hukum ketiga aktivis tersangka dugaan penghasutan tersebut, belum mendapat salinan BAP.

"Padahal sesuai dengan KUHP Pasal 72 itu menjadi hak tersangka dan kuasa hukumnya untuk mendapatkan salinan BAP setelah diselesaikan pengambilan keterangan tersangka (untuk kepentingan pembelaan)," jelasnya.

Kejanggalan lainnya, jeratan Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan harusnya dilakukan pembuktian materiil, dampak atau akibat dasar penangkapan tersebut.

"Sebab, belum ada sama sekali dugaan vandalisme yang mengakibatkan orang melakukan sesuatu hal yang diinginkan dalam tulisan tersebut," ujarnya.

Kontributor : Aziz Ramadani

Load More