Scroll untuk membaca artikel
Yovanda Noni
Sabtu, 17 Oktober 2020 | 12:08 WIB
Ilustrasi demo (Shutterstock).

SuaraJatim.id - Aksi penolakan pengesahan Omnibus Law dan UU Cipta Kerja di Surabaya menyisahkan pilu dari seorang mahasiswa.

Dia adalah EA, mahasiswa yatim piatu yang bertugas menjadi jurnalis kampus dari lembaga pers universitas negeri di Surabaya.

EA satu dari sejumlah orang yang mengalami tindakan represif dari aparat kepolisian. Padahal, kala itu EA hanya mengerjakan tugas meliput aksi unjuk rasa di Gedung Negara Grahadi pada Kamis (8/10/2020)

Ditemui di Sabtu pagi (17/10/2020), EA mengisahkan peristiwa pemukulan yang dia alami.

Baca Juga: Buruh dan Mahasiswa Demo UU Cipta Kerja, Istana: Kita Agak Lupa

Kala itu, Kamis sekira pukul 10.00 WIB, EA meliput massa yang sedang berada di Bundaran Waru bersama teman-teman dari PPMI Surabaya.

Dari situ, bersama rekan pers kampus lain, dia kemudian bergeser ke Gedung Negara Grahadi yang menjadi titik pusat aksi. Semula aksi berjalan lancar, hingga sore hari suasana mulai memanas dan berakhir bentrok.

Mahasiswa dan aparat terlibat saling lembar botol dan batu. Tembakan gas air mata dan water canon juga digerakkan.

Agar tidak ketinggalan momentum, EA berupaya mendokumentasikan peristiwa itu dari balik patung yang berada di taman.

"Sekitar jam 2 setengah 3-an kondisi chaos pertama saling lempar. Saya berada di belakang patung gubernur suryo untuk nge-drone sambil berlindung," ujarnya.

Baca Juga: Nadiem Terjunkan Mahasiswa Bidikmisi Bantu Siswa Belajar Dari Rumah

Mendekati petang, bentrok makin parah. Demonstran berupaya merobohkan pagar di sisi barat dan timur Gedung Negara Grahadi.

Aparat kepolisian mulai menangkap paksa beberapa demonstran yang dinilai provokator, dan di bawa menuju ke dalam Gedung Grahadi.

"Kita sama teman-teman jurnalis lain kan lari ke arah timur untuk ngeliput chaos itu. Waktu itu saya ada di belakang barisan polisi, di dalam grahadi waktu itu saya diminta mundur sama salah satu anggota polisi, akhirnya saya mundur tepat di dekatnya polwan-polwan. Saya waktu itu juga masih melihat aksi sambil ngerekam," ungkapnya.

Namun, saat sedang merekam, tiba-tiba salah seorang aparat berseragam mendekati EA. Tindakan represif itu bermula.

"Tiba-tiba polisi lain nyamperin saya pakai seragam, polisi yang masih muda. Pertama satu orang ngomong mas-mas kameranya hapus-hapus, akhirnya agak ngeyel menjelaskan identitas dan asal saya," bebernya.

Akibat omongan salah satu aparat tadi, EA akhirnya digelandang berkumpul bersama massa lain yang ditangkap.

Load More