Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Sabtu, 26 Februari 2022 | 12:32 WIB
Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. (Suara.com/Tyo)

SuaraJatim.id - Ribut-ribut gagasan menunda Pemilu 2024 kian mengemuka. Gagasan menunda pemilu yang dilempar sejumlah politisi karena alasan ekonomi itu segera direspons berbagai kalangan.

Terbaru, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyorot gagasan tersebut. Seperti disampaikan Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini.

Ia menyatakan tidak ada satu pun negara di dunia menunda pemilihan umum (pemilu) dengan alasan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi. Hal ini disampaikannya saat ditanya terkait persoalan itu.

"Penundaan pemilu merupakan strategi populer kedua yang dipakai selain amendemen konstitusi," kata Titi Anggraini, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (26/02/2022).

Baca Juga: Wacana Pemilu 2024 Ditunda, Mardani PKS: Rezim Otoriter Muncul karena Waktu Berkuasa yang Lama

Pegiat pemilu ini menilai wacana itu merupakan strategi dalam rangka memperpanjang durasi kekuasaan sekaligus menghindari pembatasan masa jabatan dengan cara menghindari pelaksanaan pemilu.

Ia mengemukakan bahwa pada masa pandemi COVID-19 sejumlah negara memang menunda pemilu mereka untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi, pertimbangannya adalah demi keselamatan jiwa warga negara.

"Hal itu pun dilakukan dengan sangat cermat, pertimbangan hukum yang ketat, serta proses yang terbuka," ujarnya.

Kalau alasannya pertumbuhan ekonomi, menurut Titi, selain sangat janggal, tidak lazim, bahkan jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.

Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, lanjut dia, jelas mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Baca Juga: Gerindra Masih Menolak Komentar Terkait Gagasan Pemilu 2024 Diundur Akibat Dampak Covid-19

Selain itu, Pasal 22E ayat (1) UUD juga secara eksplisit menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali.

"Mestinya elite dan pimpinan parpol patuh dan taat dalam menjalankan konstitusi, bukan malah menawarkan sesuatu yang jelas tidak ada celahnya dalam UU Pemilu maupun konstitusi kita," tutur Titi.

Ia mengemukakan bahwa budaya konstitusi yang buruk selain merupakan pendidikan politik yang buruk, juga bisa menumbuhkan apatisme yang lebih besar pada publik terhadap para pejabat. ANTARA

Load More