Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Selasa, 31 Mei 2022 | 13:55 WIB
Universitas Brawijaya (UB) Malang. [Suara.com/Bob Bimantara Leander]

SuaraJatim.id - Salah satu dosen Jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Brawijaya, Yusli Effendi, memberi pengakuan cukup mengejutkan terkait mahasiswanya berinisial IA.

IA ini ditangkap oleh Tim Densus 88 anti-teror pada Senin (23/5/2022) kemarin. Ia diduga sebagai simpatisan ekstremis ISIS. Keterlibatannya antara lain mengumpulkan dana untuk ISIS.

Menurut Yusli, sudah lama Ia memantau media sosial atau akun Instagram mahasiswanya itu. Ia juga sempat berkomunikasi dan hasilnya menyimpulkan kalau IA memang keras kepala.

"Ternyata dia memang atos. Saya tanya 'ngapsin sih kamu kayak gini?' Dia jawab 'salah saya dimana? Ini saya dakwah'. Di media sosial sudah terpapar sampai seserius itu," ujarnya.

Baca Juga: Mahasiswa UB Malang Dibekuk Tim Densus Gegara Kepul Dana Buat ISIS, Begini Respons Keras Dosennya

"Saya lihat instagramnya baru ketahuan kalau memang ideologinya radikalisme seperti itu," ujarnya.

Melalui postingan akun instagram IA waktu itu, Yusli menjelaskan, IA sering mengunggah suatu ujaran kebencian.

"Propagandanya ISIS banget. Menyebarkan ujaran kebencian ke NU. Kebencian ke Syiah. Syiah harus dibunuh itu semua di Instagramnya," kata dia.

Akhirnya, beberapa waktu kemudian, Yusli mencoba mengobrol dengan mahasiswanya itu. Dia ingin mengetahui secara langsung pandangan IA.

Dengan obrolan tersebut, Yusli mulai yakin bahwa mahasiswanya itu memahami paham radikalisme dan ekstrimisme.

Baca Juga: Sergio Silva Optimistis dengan Kekuatan Arema FC Musim 2022/2023

"Tapi saya waktu itu hanya berpikir bahwa itu hanya ide yang berada di pikiran. Belum ide yang diaktualisasi menjadi kegiatan," katanya.

"Dan kalau di tingkatan akademis semua ide itu dihormati. Ya kayak yang megang paham komunisme atau apa ya gak papa selama itu ada di pikiran," ujarnya menambahkan.

Yusli menambahkan, dia tidak setuju terkait pemberitaan selama ini bahwa IA adalah mahasiswa yang pintar.

"Saya tekankan gak pintar ya biasa IP 3 dan ikut kompetisi-kompetisi juga endak. (IA adalah) mahasiwa standard-standard saja," kata dia.

Sementara itu, pihak UB sebenarnya sudah membentengi mahasiswanya dengan program-program deradikalisme seperti gerakan anti radikalisme.

Menanggapi itu, Yusli berpendapat, program itu tidaklah efektif jika bertujuan untuk mengubah paham radikalisme seorang mahasiswa.

Bahkan, lanjut dia, meskipun di kelas juga ada pelajaran seperti Pendidikan Pancasila pun tidak cukup untuk mengubah ideologis yang dipahami mahasiswa.

Dia menjelaskan alasannya, metode pengajaran program-program tersebut hanya sebatas di kelas. Waktu pengajaran pun cuma satu atau dua jam dilepas.

"Itu tidak terlalu efektif. Kelas besar juga. Cuma ceramah saja. Tapi memang ya kurang kuat dalam artian satu dua jam selesai kelasnya setelah itu dilepas. Ospek juga yang diberikan di fakultas lagi-lagi ya satu atau dua efisiensi jelas berkurang," paparnya.

Terpapar dari komunitasnya

Sementara menurutnya, mahasiwa yang mempunyai ideologi radikalisme ini cukup kuat. Dia terpapar paham tersrbut dari komunitasnya atau orang sekitarnya lebih banyak dari pelajaran atau program radikalisme.

Untuk itu, dia menjelaskan, untuk menderadikalis mahasiswa itu harusnya dengan cara menjauhkan dari komunitasnya. Tidak cukup dengan ceramah saja.

"Temuan studi terbaru itu gak cukup hanya ceramah. Saya berkali-kali ceramah ke napiter di Lapas. Juga gak bisa. Dari studi terbaru itu yang lebih efektif itu dijauhkan dari komunitasnya," kata dia.

Caranya adalah dalam hal ini bukan tugas dari pihak kampus saja. Yusli menjelaskan, butuh partisipasi warga sekitar mahasiswa untuk antisipasi radikalisme menghinggapi mahasiswa sejak dini.

Peran masyarakat di sini awalnya hanya untuk mendeteksi kejanggalan aneh mahasiswa yang cenderung memiliki ideologi ekstrimis.

"Kita butuh pengawasan berbasis masyarakat atau komunitas dan berbasis budaya dalam hal ini masyarakat atau tetangga itu harus mengetahui," kata dia.

Warga sekitar, kata Yusli, seharusnya mampu mengenali mahasiswa dengan memanfaatkan budaya atau kultur jawa, yakni saling mengantarkan makanan.

"Kalau adat jawa itu ada namanya ater-ater makanan. Itu bisa mengatarkan makanan di tetangganya. Akhirnya bisa mengenali. Jadi orang atau tetangganya begini dalam beberapa hal gak mau. Itu bisa dideteksi dengan cara pendekatan seperti itu," imbuh dia.

Namun, kata Yusli, dalam konteks penangkapan IA, cara seperti itu tidak di lakukan. Dengan konteks masyarakat Kota kekinian, budaya-budaya seperti ater-ater makanan itu jarang ditemui.

"Kalau sekarang masyarakat kota individual. Kita gak tau kanan kiri tetangga kita merakit bom. Jadi itu pentingnya pengawasan berbasis budaya," kata dia.

Sementara untuk 'penyembuhan' paham radikalisme itu bukanlah tugas warga.

"Kalau menyembuhkan itu perlu intensitas yang lebih tinggi. Warga hanya mendeteksi awal dan nanti akan berkoordinasi dengan Babinsa atau Bhabinkamtibmas," ujarnya.

Untuk penyembuhan dari paham radikalisme sendiri, perlu adanya pemberian modal dan pekerjaan.

Sebab berdasarkan pengalamannya, napiter kebanyakan tidak diterima oleh masyarakat. Padahal seorang napiter itu masih perlu makan dan menafkahi keluarganya.

"Beberapa napiter berdasarkan pengalaman saya mereka dijauhi. Kerjaan gak ada. Jadi penyembuhan itu bisa melalui memberikan pekerjaan atau modal. Kalau sudah gak diterima dia akan kembali lagi," kata dia.

Kontributor : Bob Bimantara Leander

Load More