SuaraJatim.id - AKBP Ferli Hidayat menjadi korban pertama dalam tragedi Stadion Kanjuruhan Malang. Jabatannya sebagai Kapolres Kabupaten Malang hilang. Dirinya dipindahkan ke Pamen Sumber Daya Manusia (SDM) Polri. Termasuk, 28 personel polisi yang bertugas di stadion tersebut.
Namun, menurut pengamat hukum dari Universitas Airlangga Surabaya Wayan Titib Sulaksana itu tidak adil. Seharusnya, Irjen Pol Nico Afinta dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda Jatim. Karena, penembakan gas air mata itu, tidak mungkin dilakukan berdasarkan inisiatif dari personel.
"Mereka bertindak, pasti atas instruksi atasan. Itu kan pasti beruntutan itu. Dari Kapolda perintahkan Kapolres. Begitu terus sampai ke satuan terbawah. Tidak mungkin yang di bawah itu bertindak sendirian. Itukan tanggungjawab berjenjang," kata Wayan, Selasa 4 Oktober 2022.
Pun ia mempertanyakan alasan polisi membawa senjata gas air mata itu ke dalam lapangan. Serta, menembakkan gas air mata ke tribun penonton. "Seandainya itu (tembakan ke tribun) tidak dilakukan, mungkin tidak akan ada korban jiwa," tambahnya.
Baca Juga: Soroti Tragedi di Kanjuruhan, AHY Minta Hukum Ditegakkan Seadil-adilnya
Seandainya ketika itu Aremania --supporter Arema-- tidak bisa diatur, tindakan yang bisa dilakukan oleh petugas adalah menembakkan water canon. "Mereka pasti bubar kok. Gak akan kejadian seperti ini. Paling hanya basah-basahan saja," terangnya.
Untuk pertanggungjawaban moral, ia menyarankan agar Kapolda Jatim dengan kesadaran dirinya, untuk mundur dari jabatannya. "Itu hanya secara moralnya saja. Bukan yang lain. Sudah lah, jangan diam duduk manis di jabatan itu saja. Lalu, ngorbankan bawahan," tegasnya.
Tapi, pencopotan jabatan itu tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, kedepannya akan berpotensi kejadian serupa akan terulang kembali. Harus ada tersangka dalam kasus tersebut. AKBP Ferli Hidayat dan Irjen Pol Nico Afinta juga harus dijadikan tersangka.
"Kalau ada itikad baik dari mabes Polri, seharusnya mantan Kapolres Kabupaten Malang dan Kapolda Jatim pasti akan dijadikan tersangka. Kapolda ini kan kesandung banyak masalah. Kasus konsorsium 303 belum selesai, kasus ini lagi bergulir," ujarnya.
Tapi, penyidik harus menyusuri dari tingkat terbawah. Mulai dari oknum polisi yang menembakkan gas air mata itu pertama kali. Termasuk orang yang menembakkan ke arah tribun. Juga, panitia pelaksana yang lambat membuka pintu.
Baca Juga: TGIPF Sepakat Liga 1, 2 dan 3 Dihentikan Sampai Jokowi Izinkan untuk Kembali Digelar
"Seharusnya, sisa 10 menit pertandingan, gerbang itu sudah dibuka. Bisa saja kan, mereka ada yang ingin pulang duluan. Mungkin karena tidak mau desak-desakan ketika pulang. Kenapa lambat dibuka? Juga kenapa gas air mata itu ditembakkan dalam stadion. Itu kan diharamkan," ungkapnya.
Pendapat serupa dilontarkan oleh Johanes Dipa Widjaja pengurus DPC Peradi Surabaya. Dirinya mempertanyakan apakah tindakan yang dilakukan oleh polisi itu, tepat dilakukan? Apakah petugas mempertimbangkan dampak ketika gas air mata itu ditembakkan?
"Sebenarnya, itu kan harus dipertimbangkan. Pasti sudah ada membayangkan apa yang akan terjadi. Pasti, akan ada kepanikan dari para supporter. Berakibat maut nantinya. Bukankah itu akan berakibat maut nantinya. Mereka kan diajarkan profesional dalam menggunakan itu," ucapnya.
Melihat kejadian itu, ia menilai bahwa petugas di lapangan panik saat menjalankan tugasnya. Seandainya, petugas tidak panik, pastinya akan berfikir lebih bijak. Berhati-hati dalam melakukan tindakan. Sehingga, tidak akan timbul korban jiwa dalam kejadian itu.
"Tidak ada pertimbangannya sama sekali. Bagaimana jika orang dalam ruangan dilempari gas air mata. Itu kan tidak tepat juga," bebernya. Ia pun mengingat kejadian yang terjadi di stadion Deltras Sidoarjo. Ketika Persebaya Surabaya kalah.
Ketika itu, bonek --supporter Persebaya-- ngamuk. Banyak yang hancur akibat kejadian itu. Namun, tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Sebab, polisi tidak menembakkan gas air mata. "Bagaimanapun juga, kasus di Malang itu, polisi harus bertanggungjawab," tegasnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), untuk mengusut tragedi Kanjuruhan. Menko Polhukam Mahfud MD ditunjuk sebagai ketua. TGIFP memiliki 10 anggota yang berasal dari berbagai bidang.
Mahfud diperintahkan untuk menyelesaikan tragedi Kanjuruhan dalam waktu kurang dari sebulan. Diakui Mahfud, timnya sudah mengetahui garis besar penyebab sampai terjadinya targedi yang menewaskan 125 orang itu.
"Kalau bisa tidak sampai sebulan, kami sudah memiliki kesimpulkan. Masalah besarnya sebenarnya sudah kami ketahui. Tinggal detailnya itu yang nanti dikerjakan. Mungkin tidak sampai deadline yang diberikan oleh pak Presiden lah," kata Mahfud.
Jokowi juga sudah mengeluarkan surat keputusan presiden (Keppres). Surat itu, menjadi dasar dari TGIFP. Tentu dalam mengusut targedi Kanjuruhan. Beberapa tim investigasi yang dibentuk. Seperti tim investigasi PSSI yang diketuai oleh M. Iriawan, yang juga sebagai Ketua Umum PSSI sendiri.
Mahfud tidak mempermasalahkan hal itu. "Misalnya Menpora punya tim sendiri, PSSI juga punya tim sendiri, itu bagus. Bisa menyelidiki agar terang kemudian nanti dikoordinasikan dengan kami di sini (TGIPF) yang dibentuk oleh Presiden," kata pria asal Sampang, Madura itu.
Setelah melakukan rapat internal, TGIPF akan memetakan dan mengidentifikasi masalah. Seperti: siapa yang memberi komando untuk menembakkan gas air mata. Alasan pertandingan tersebut tetap dilaksanakan di malam hari. Padahal, sudah diusulkan dilakukan sore.
"Itu kan ada jaringannya, bisnisnya, periklanan. Ada banyak pihak yang harus didatangi. Speerti ke FIFA, ke Polri, ke desa-desa, ke lapangan. Ada juga yang mempelajari peraturan perundang-undangan," ucapnya.
Kontributor : Yuliharto Simon Christian Yeremia
Berita Terkait
-
Timnas Indonesia Kalah, Adab Erick Thohir ke Gibran Jadi Gunjingan: Harusnya ke Korban Tragedi Kanjuruhan
-
Jelang Timnas Indonesia vs Jepang, Media Asing Singgung Tragedi Kanjuruhan
-
2 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Pukulan Telak, dan Titik Balik Sepak Bola Indonesia
-
Refleksi Dua Tahun Tragedi Kanjuruhan: Trauma Belum Hilang, Keadilan Masih Buram
-
Dari Kanjuruhan ke Kemenkumham: Jejak Kontroversial Irjen Nico Afinta
Tag
Terpopuler
- Dicoret Shin Tae-yong 2 Kali dari Timnas Indonesia, Eliano Reijnders: Sebenarnya Saya...
- Momen Suporter Arab Saudi Heran Lihat Fans Timnas Indonesia Salat di SUGBK
- Elkan Baggott: Hanya Ada Satu Keputusan yang Akan Terjadi
- Elkan Baggott: Pesan Saya Bersabarlah Kalau Timnas Indonesia Mau....
- Kekayaan AM Hendropriyono Mertua Andika Perkasa, Hartanya Diwariskan ke Menantu
Pilihan
-
Dua Juara Liga Champions Plus 5 Klub Eropa Berlomba Rekrut Mees Hilgers
-
5 Rekomendasi HP Infinix Sejutaan dengan Baterai 5.000 mAh dan Memori 128 GB Terbaik November 2024
-
Kenapa KoinWorks Bisa Berikan Pinjaman Kepada Satu Orang dengan 279 KTP Palsu?
-
Tol Akses IKN Difungsionalkan Mei 2025, Belum Dikenakan Tarif
-
PHK Meledak, Klaim BPJS Ketenagakerjaan Tembus Rp 289 Miliar
Terkini
-
Terungkap Penyebab Kebakaran di UIN SATU Tulungagung
-
Kampung Narkoba di Surabaya Digerebek, 25 Orang Diciduk
-
Hari Kesehatan Nasional Ke-60, Pj. Gubernur Adhy Apresiasi Tim Yankes Bergerak Layani 1.067 Masyarakat Pulau Kangean
-
Redaktur Eksekutif Suara.com Bagi Tips ke Siswa SMK Gresik Kembangkan Industri Kreatif
-
Survei Pilgub Jatim Versi Poltracking: Makin Mengerucut Jelang Detik-detik Akhir