Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 07 November 2025 | 08:20 WIB
K’tut Tantri, perempuan bule yang lebih dikenal rakyat sebagai Surabaya Suh. [ChatGPT]
Baca 10 detik
  • K’tut Tantri, perempuan bule asal Skotlandia, berjuang bersama rakyat Surabaya mempertahankan RI.
  • Ia jadi penyiar perjuangan bersama Bung Tomo, menyuarakan semangat dan pesan kemerdekaan ke dunia.
  • Meninggal dengan adat Bali, K’tut Tantri dikenang sebagai simbol cinta dan pengorbanan untuk Indonesia.

SuaraJatim.id - Peristiwa 10 November 1945 dikenang sebagai salah satu titik paling heroik dalam sejarah Indonesia. Hari ketika arek arek Suroboyo memilih untuk berdiri, melawan, dan mempertahankan kemerdekaan dengan nyawa.

Namun, di balik gelegar senjata dan suara lantang Bung Tomo, ada sosok lain yang jarang disebut tetapi memiliki peran besar dalam membangun semangat juang rakyat Surabaya.

Ia adalah K’tut Tantri, perempuan bule yang lebih dikenal rakyat sebagai Surabaya Suh.

Kisah hidupnya penuh kejutan, keberanian, dan pengorbanan. Inilah tujuh fakta penting yang membuatnya layak dikenang sebagai bagian dari sejarah kepahlawanan menjelang 10 November sebagaimana dikutip dari Holopis Channel.

1. Datang sebagai Orang Asing, Mengabdi sebagai Anak Bangsa

K’tut Tantri lahir sebagai Muriel Stuart Walker, perempuan keturunan Skotlandia yang besar di California. Ia mengenal Indonesia melalui film tentang Bali dan langsung jatuh cinta pada budaya serta spiritualitasnya.

Pada 1932, ia memutuskan tinggal di Denpasar sebagai warga biasa yang ingin belajar budaya lokal.

Cintanya pada Indonesia bukan cinta biasa. Ia hidup di tengah masyarakat, ikut kegiatan adat, dan berbaur tanpa jarak. Pilihan untuk tinggal bukan keputusan turistik, tetapi pilihan hati yang kelak mengantarnya ke medan perjuangan.

2. Diangkat Jadi Anak Raja Klungkung dan Mendapat Nama “K’tut”

Baca Juga: Gubernur Jatim: PRJ Surabaya 2025 Jadi Penguat Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Serap Tenaga Kerja

Tantri tidak butuh waktu lama untuk diterima oleh masyarakat Bali. Kehadirannya menarik perhatian istana Klungkung. Raja Klungkung kemudian mengangkatnya sebagai anak keempat dan memberinya nama “K’tut”, sesuai urutan anak dalam adat Bali.

Status ini membuat Tantri merasakan kedekatan emosional dengan Indonesia. Ia bukan lagi pendatang, melainkan bagian dari keluarga besar Nusantara. Rasa inilah yang mendorong keberaniannya ketika bangsa ini memasuki masa perang.

3. Pindah ke Jawa dan Terseret ke Pusaran Perjuangan

Saat Jepang menginvasi Bali, Tantri dan Agung Nura pindah ke Surabaya. Mereka tinggal di Hotel Oranye. Di kota inilah Tantri benar benar melihat penderitaan rakyat sekaligus semangat kemerdekaan yang menggebu.

Ia ikut terlibat dalam pergerakan bawah tanah. Tugasnya bermacam macam, mulai dari mengumpulkan informasi, membantu logistik pejuang, hingga menjadi penghubung berbagai kelompok pro kemerdekaan.

Tantri bergerak tanpa pamrih dan tanpa posisi resmi. Ia melakukan semua itu karena ia percaya Indonesia harus merdeka.

Load More