Budi Arista Romadhoni
Jum'at, 07 November 2025 | 08:20 WIB
K’tut Tantri, perempuan bule yang lebih dikenal rakyat sebagai Surabaya Suh. [ChatGPT]
Baca 10 detik
  • K’tut Tantri, perempuan bule asal Skotlandia, berjuang bersama rakyat Surabaya mempertahankan RI.
  • Ia jadi penyiar perjuangan bersama Bung Tomo, menyuarakan semangat dan pesan kemerdekaan ke dunia.
  • Meninggal dengan adat Bali, K’tut Tantri dikenang sebagai simbol cinta dan pengorbanan untuk Indonesia.

4. Ditangkap Jepang dan Disiksa Hingga Nyaris Meninggal

Pada masa pendudukan Jepang, perempuan kulit putih dianggap berbahaya. Tantri dicurigai sebagai mata mata Amerika. Ia ditangkap, dipenjara, dan menjalani penyiksaan brutal. Ia dipukuli, ditelanjangi, dan dibiarkan kelaparan hingga tubuhnya hampir tidak mampu bergerak.

Ia selamat setelah Jepang menyerah dan para tahanan dipindahkan. Dokter yang mengenalnya menyelamatkannya. Ironisnya, ia tidak sadar saat Proklamasi 17 Agustus dibacakan karena tubuhnya masih koma. Tetapi begitu pulih, ia segera kembali ke Surabaya untuk membantu revolusi.

5. Menjadi Penyiar Perlawanan Bersama Bung Tomo

Setelah kondisi membaik, Tantri bergabung dengan stasiun radio perjuangan. Di sinilah perannya mencapai puncaknya. Ia menjadi penyiar propaganda untuk dunia internasional, menyampaikan bahwa rakyat Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaan.

Karena gaya bicaranya lantang, penuh emosi, dan mampu menggetarkan, rakyat menyebutnya Surabaya Suh. Jika Bung Tomo membakar semangat rakyat Indonesia, maka K’tut Tantri membakar perhatian dunia agar memahami perjuangan Surabaya.

Suaranya bisa dibilang menjadi salah satu elemen psikologis paling penting yang menguatkan moral rakyat sebelum pecahnya pertempuran 10 November.

6. Suaranya Menggema Menjelang Pertempuran 10 November

Setelah insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945, situasi Surabaya makin panas. Inggris mengeluarkan ultimatum, rakyat membalas dengan demonstrasi besar. Ketegangan mencapai puncak.

Baca Juga: Gubernur Jatim: PRJ Surabaya 2025 Jadi Penguat Pertumbuhan Ekonomi Inklusif dan Serap Tenaga Kerja

Di titik inilah suara radio menjadi amunisi moral yang tidak kalah penting dari peluru. Tantri dan Bung Tomo mengisi siaran radio yang nyaris nonstop. Mereka memperingatkan rakyat agar siap menghadapi serangan. Mereka juga menegaskan bahwa kemerdekaan tidak boleh direnggut.

Siaran Tantri yang berbahasa Inggris berusaha memberi tahu dunia bahwa Surabaya bukan kota pemberontak, tetapi kota yang mempertahankan kemerdekaan sah. Kata katanya menjadi bagian dari atmosfer emosional yang akhirnya meledak pada 10 November 1945.

7. Mengakhiri Hidup dengan Cara yang Sangat Indonesia

Setelah bertahun tahun hidup di Indonesia, Tantri meninggal sebagai seorang perempuan yang cintanya tidak pernah padam pada bangsa ini.

Jenazahnya dibalut bendera Merah Putih dan diaben sesuai adat Bali, seperti yang ia minta. Abunya ditebar di Pantai Kuta, tempat ia pertama kali jatuh cinta pada Indonesia.

Seluruh harta terakhirnya ia wariskan untuk anak-anak kurang mampu. Ia datang sebagai orang luar, tetapi berpulang sebagai bagian dari bangsa.

Load More