Kisah Ngateni, Hidup Sebatang Kara dalam Kemiskinan Tanpa Uluran Pemerintah

Ngateni mengaku tak pernah mendapatkan bantuan sosial (Bansos) tunai Corona dan bahkan, sempat tak mampu membeli beras untuk dimakan setiap harinya.

Chandra Iswinarno
Kamis, 14 Mei 2020 | 18:13 WIB
Kisah Ngateni, Hidup Sebatang Kara dalam Kemiskinan Tanpa Uluran Pemerintah
Nenek Ngateni saat berada di rumahnya. [Suara.com/Amin Alamsyah]

SuaraJatim.id - Rentannya kehidupan ekonomi di masa pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia beberapa waktu terakhir mulai dirasakan semua lapisan masyarakat. Bahkan di kalangan lansia masyarakat ekonomi menengah ke bawah pun kian terasa dampaknya.

Persoalan itu pula yang kini dihadapi Ngateni, lansia berumur 81 tahun, warga Desa Centini Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan. Meski tidak ingin merepotkan keluarganya dengan memutuskan hidup sendirian, kehidupan Ngateni kini semakin kelam.

Selama ini, Ngateni mengaku tak pernah mendapatkan bantuan sosial (Bansos) tunai Corona dan bahkan, sempat tak mampu membeli beras untuk dimakan setiap harinya.

Tak hanya kemiskinan, Ngateni mengaku sejak lima tahun terakhir, kesehatannya kian menururun. Ia tidak lagi kuat seperti sebelumnya. Untuk berjalan menuju dapur saja, nenek kelahiran 1939 itu harus dibantu menggunakan tongkat kayu. Kakinya gemetar setiap kali berusaha untuk berjalan.

Baca Juga:Miris! Nenek Sebatang Kara Bertahan Hidup Mengais Sisa Gabah Saat Panen

Meski kondisinya serba sulit, ia bersikukuh tak mengharap bantuan dari kerabat dan keluarga. Ngateni setiap harinya praktis mengandalkan hasil penjualan tape ketan yang dibalut dengan daun pisang, hasil buatannya, untuk dijual di pasar. Karena Ngateni tidak bisa berjalan, proses penjualannya dibantu oleh Ngasening (70) tetangganya.

“Setiap hari buat tape ketan, saya yang masak kemudian dititipkan tetangga untuk dijual di pasar. Kalau laku semua setiap hari hanya mendapatkan uang sebesar Rp 18 ribu saja, kadang sering tidak laku,” tutur Ngateni saat ditemui di rumahnya, Kamis (14/5/2020).

Ketan tape yang dijual Ngateni ini berisikan, beras ketan, kemudian dicampur dengan ragi dan sarimanis. Setelah berbentuk adonan, jajan itu kemudian dibungkus daun pisang dengan porsi kecil. 10 bungkus tape kecil dihargai sebesar Rp 3 ribu. Setiap harinya Ngateni hanya mampu membuat tape kecil sebanyak 60 bungkus daun pisang.

Ngateni sendiri sebenarnya memiliki empat anak. Hanya saja yang masih bertahan hidup tinggal satu orang. Namun, anak semata wayangnya kini merantau di Ternate, karena desakan ekonomi. Ia tak mau menjadi beban, karena hidup anaknya sama susah seperti dirinya.

“Tidak mau merepotkan siapapun, terserah Gusti Allah, yang penting saya tidak terbelit hutang. Nyatanya hasil dari jualan tape walau tidak seberapa ya bisa dibuat makan,” jelasnya.

Baca Juga:Kisah Keluarga Herman Felani Bertahan Hidup Tanpa Bantuan di Tengah Pandemi

Diakui Ngateni, suatu hari ia pernah mengalami hidup yang paling sulit. Jualan tape dalam beberapa hari terakhir pun tidak laku sama sekali. Bahkan, ia tidak memiliki uang sepeserpun. Beruntung, tidak berselang lama ada seorang tetangga yang memesan tape ketan untuk acara hajatan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini