Waduk Pacuh Kering saat Kemarau, Petani Berharap Hujan Turun

Banyak diantara mereka hanya bisa melakukan dua kali panen dalam setahun.

Dwi Bowo Raharjo
Sabtu, 25 Juli 2020 | 02:05 WIB
Waduk Pacuh Kering saat Kemarau, Petani Berharap Hujan Turun
Kondisi Waduk Pacuh saat kemarau. (Suara.com/Amin Alamsyah)

Heri juga mengatakan, sulitnya pengairan sawah akibat waduk menggering bukan satu-satunya masalah. Menurutnya yang lebih krusial, di desa tempat tinggalnya kerap terjadi krisis air bersih. Banyak warga rela membeli air besih setiap dua hari sekali.

"Biasanya warga membuat tandon dengan ukuran besar. Namun bagi warga yang memiliki lahan luas, bisa membuat empang atau jublang di belakang rumah. Fungsinya menyimpan air dari hujan," bebernya.

Rumah Heri termasuk yang menyimpan air hujan dari empang. Setiap musim kemarau ia bisa membeli air sebanyak 5 ribu liter. Harga pertengkinya ia harus merogoh uang sebesar Rp 150 ribu. Air itu digunakan untuk keperluan mandi dan memasak. Itupun hanya bisa bertahan satu bulan, setelahnya harus mengisi ulang lagi.

"Kondisi airnya tidak bisa disamakan dengan air bersih pada umumnya. Mendinglah dariapada tidak ada air sama sekali," tuturnya.

Baca Juga:Kekeringan sejak Awal Juni, Gunungkidul Tetapkan Status Tanggap Darurat

Karena itu di masim hujan, bagi Heri dan warga sekitar, merupakan berkah tersendiri. Setiap penduduk akan menyediakan tong berukuran besar di depan masing-masing rumah. Tujuannya menadah air hujan untuk kebutuhan sehari-hari.

"Sebetulnya ada sumber lain kalau bagi orang yang mampu. Yakni mengebor sumur dari tanah. Harga yang dikeluarkan lumayan, yakni sebesar Rp 10 juta. Itupun yang didapatkan bukan air tawar," pungkasnya.

Kontributor : Amin Alamsyah

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini