SuaraJatim.id - Kasmi termenung. Wanita yang kini berusia 80 tahun itu sesekali menunduk. Gelagatnya tampak gelisah, seperti memikirkan sesuatu hal. Tapi Kasmi hanya diam seribu bahasa, tak satupun kata terucap dari wanita yang kulitnya sudah keriput ini.
Kasmi, ibunda Parti Liyani (46) Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang belakangan namanya ramai diperbincangkan Warga Indonesia dan Singapura. Musababnya, Parti berhasil bebas dari tuduhan mencuri yang dilayangkan majikannya tahun 2016 lalu.
Majikan Parti merupakan salah satu konglomerat di Singapura, Chairman Changi Airport Group Liew Mun Leong. Saat bekerja untuk Liew, ia dituduh mencuri sejumlah barang mewah. Parti pun diperkarakan dan sempat divonis bersalah.
Pengadilan negara setempat pun memvonis Parti dua tahun dua bulan penjara, karena diduga mencuri barang dengan nominal 34 ribu dolar Singapura pada Maret 2019. Tentu saja Parti melawan vonis itu, pun banding yang dilakukan Parti berhasil.
Baca Juga:552 TKI Ilegal Dipulangkan dari Malaysia
Namun, putusan Pengadilan Tinggi Singapura pun akhirnya memutus Parti bebas pada 4 September 2020. Kini Parti masih di Negeri Singa dan ditampung HOME, LSM yang mendampingi Parti.
Adapun Parti kini tengah menuntut 2 jaksa penuntut umum yang menuntutnya bersalah.
****
Parti sebenarnya hanya orang ‘kecil’. Pendidikan pun hanya lulusan sekolah dasar (SD). Orang tuanya, Kasmi dan almarhum Suban hanya petani kecil yang tinggal di Dusun Keduk, Desa Kebonagung, Kecamatan Sawahan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Rumah Kasmi tergolong sederhana. Teras dari rumah beratap pelana yang ditinggalinya hanya diplester seadanya, sementara bagian dinding luar tanpa plester. Untuk bagian dalam rumah sudah lebih mending dengan lantai beralaskan keramik.
Baca Juga:Lagi, Malaysia Deportasi Ratusan TKI di Tengah Pandemi Corona
Parti sendiri merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dan menjadi satu-satunya yang menjadi PMI di luar negeri.
“Mbak Parti itu anak kelima,” ujar adik ipar Parti, Sabikan (40) pada awal Oktober 2020.
Sabikan tak ingat sejak kapan kakak iparnya tersebut menjadi PMI. Seingatnya, Parti sudah sembilan tahun bekerja untuk Liew Mun Leong.
Selama sembilan tahu itu, kata Sabikin, Parti hanya pulang ke kampung sekali pada tahun 2017.
Selama bekerja untuk Liew Mun Leong, Parti selalu berkomunikasi dengan keluarga lewat sambungan telepon. Tetapi Parti tak pernah bercerita mengenai masalah hukum yang dialaminya ke Kasmi, kakak-adik, maupun ke kerabat lainnya.
“Mbak Parti nggak pernah cerita soal itu (kasus hukum di Singapura). (Saat komunikasi lewat telepon) biasa-biasa saja, ‘pokoknya di sini sehat’, nggak pernah cerita soal itu. Tahunya ya baru sekarang,” kata Sabikan yang matanya berkaca-kaca.
Menurut Sabikan, pihak keluarga baru tahu Parti terjerat kasus hukum di Singapura dari sejumlah jurnalis yang tetiba berkunjung ke kediamannya, Kamis (10/9/2020) silam. Saat itu, Sabikan berada di ladang, di rumah hanya ada Kasmi.
Kasmi yang tak tahu maksud kedatangan wartawan tampak kebingungan. Ia pun syok setelah mengetahui Parti, anaknya, tersandung pekara di Singapura.
Semenjak itulah Kasmi menjadi pendiam dan kerap termenung seorang diri.
Nenek Kasmi juga menjadi tak selera melahap makanan. Jiwanya terguncang. Ia tak menyangka Parti yang selama ini masih kerap mengirimkan uang ternyata memiliki masalah pelik sampai-sampai hampir masuk jeruji besi.
Tak Diberitahu Desa
Menurut Sabikin, Parti memang sengaja merahasiakan kasusnya dari keluarga. Baik Parti maupun pendampingnya di Singapura, juga tak pernah menceritakan kasus hukum yang menjarat ke kerabat dan keluarga di Indonesia.
Selain pihak Parti yang menutupi kasusnya ke keluarga, peran Pemerintah Desa (Pemdes) Kabonagung sendiri juga nihil. Padahal, merujuk UU RI No 18 tahun 2017 tentang pelindungan PMI, desa seharusnya berperan lebih terhadap warganya yang jadi PMI.
Dalam pasal 42 UU RI No 18 tahun 2017 disebukan secara gamblang mengenai tugas dan tanggung jawab pemerintah desa.
Mulai dari memberikan informasi, verifikasi data, mencatat, memantau, dan memberdayakan calon PMI dan keluarganya.
Undang-undang tersebut juga menjelaskan ‘perlindungan pekerja migran bisa dimulai dari desa, kabupaten/kota dan provinsi, sejak sebelum bekerja sampai setelah bekerja’. Di mana Pemda berperan mulai dari memberikan informasi job order.
Namun dalam kasus Parti berbeda. Pihak desa asal Parti, terkesan tak mau tahu dengan kasus hukum yang tengah menjerat warganya di luar negeri. Bahkan, sekedar menanyakan kasus Parti maupun mengunjungi keluarganya pun tidak.
“Pihak desa nggak pernah (berkomunikasi mengenai kasus Parti dengan keluarga), sampai sekarang juga nggak pernah itu. Maksudnya kan kepala desa dan perangkatnya, itu tidak pernah. Tapi kalau Kamituwo (Kepala Dusun) ke sini,” lanjutnya.
Akan tetapi, kedatangan Kepala Dusun Keduk Saiul Nizar ke kediaman Kasmi juga bukan untuk mengomunikasikan kasus yang tengah dihadapi Parti. Kedatangannya hanya sebatas mengantar rombongan wartawan yang datang pada Kamis (10/9/2020) lalu.
Selain tiadanya peran desa, lanjut Sabikan, sejauh ini juga belum ada perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan Usaha Mikro Kabupaten Nganjuk yang datang untuk sekedar mengkomunikasikan kasus kakak iparnya itu ke keluarga.
Kepala Desa Kebonagung, Supriadi, mengakui pihaknya tidak tak tahu menahu mengenai kasus Parti. Jangankan memberikan bantuan ke yang bersangkutan, sekedar datang ke kediaman keluarga Parti pun ia dan perangkatnya segan.
Supriadi malah menuding pihak keluarga menutup-nutupi kasus Parti, tak terbuka. Pihak desa baru tahu Parti memiliki masalah hukum di Singapura dari pemberitaan media massa, dan dari para jurnalis yang tetiba datang mencarinya.
Berdalih karena keluarga Parti yang pasif, Pemdes Kebongagung juga memilih diam dalam kasus Parti. Pihak desa lepas tangan, tak mau tahu atas persoalan yang dihadapi warganya di perantauan, di luar negeri.
Pihak Desa Kebonagung juga tak berusaha menanyakan kasus Parti ke Dinas Tenaga Kerja, Koperasi dan Usaha Mikro. Dia berdalih pihaknya tak tahu menahu dan tak ada sangkut paut dengan kasus yang dihadapi Parti.
“Wong dia perginya tahun berapa nggak tahu kok. Dari desa nggak ngopi (dokumen mengenai Parti yang berangkat menjadi PMI) sama sekali, dia perginya dari desa itu kapan ya nggak tahu,” sebutnya.
Perjuangan Parti dalam melawan hukum di negeri seberang memang tanpa campur tangan tanah kelahiran, tanpa bantuan desa maupun pemerintah daerah setempat. Warga setempat juga tak ada yang memberikan pendampingan.
Minimnya peran warga bukan tanpa alasan. Sebab, di Desa Kebonagung belum terbentuk organisasi eks PMI semacan Komunitas Organisasi Pekerja Migran Indonesia (KOPI).
Di desa itu juga belum ada peraturan desa (perdes) yang mengatur PMI.
Sementara, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Koperasi, dan Usaha Mikro Kabupaten Nganjuk Agus Frihannedy, mengakui pihaknya belum mendatangi dan berkomunikasi dengan pihak keluarga mengenai kasus yang dihadapi Parti.
Ia berdalih pihak dinas tak perlu bertamu ke keluarga Parti karena hingga kini yang bersangkutan masih berada di Singapura.
Sementara pihak keluarga Parti, tutur Agus, sudah mengetahui bahwa Parti sempat terjerat masalah hukum.
Menurut Agus, pihak dinas sudah mengetahui bila Parti berkasus di Singapura sejak tahun 2017. Namun pihaknya tak bisa memberikan bantuan hukum ke yang bersangkutan, Agus berdalih pihaknya tak punya wewenang.
“Ini (kasus) antarnegara, kapasitas dari pemerintah pusat. Jadi kami istilahnya nggak mampu untuk mensupport ke arah itu (membarikan bantuan hukum). Jadi kalau sudah antarnegara tentunya di sini kedutaan yang mengambil peran,” tuturnya.
Mencontoh Desa Gogodeso
Sikap pemerintah desa dan kabupaten terhadap kasus Parti terbilang tak acuh. Sikap ini semestinya tidak terjadi. Apalagi desa di wilayah lain sudah membuktikan bahwa mereka bisa berkontribusi dalam menyelesaikan masalah PMI-nya.
Seperti Pemdes Gogodeso Kabupeten Blitar. Pemdes ini memiliki perhatian lebih terhadap persoalan PMI. Pihak desa juga aktif memberikan bantuan, termasuk berperan sebagai penyambung lidah PMI yang bermasalah ke keluarga.
Misalnya dalam kasus Dewi Eko Yuliani, eks PMI yang bermasalah di Malaysia. Pemdes Gogodeso proaktif membantu permasalahan yang dihadapi Dewi. Tentunya pihak desa tak berjalan sendiri, tapi juga dibantu KOPI setempat.
Dewi merupakan eks TKI yang menjadi korban human trafficking. Sejak menjadi PMI dari 2012 hingga pertengahan 2019, Dewi tak pernah mendapatkan hak-haknya sebagai PMI. Ia tak pernah mendapatkan gaji, hingga akhirnya ia depresi di negeri orang.
Kasus ini bermula saat Dewi kepincut dengan bualan petugas lapangan (PL) atau yang lebih tenar dengan istilah calo.
Si calo menjanjikan pekerjaan layak kepada Dewi, syaratnya pun mudah, Dewi hanya tinggal berangkat, tak perlu mengurus dokumen.
Benar saja, Dewi berangkat tanpa mengurus dokumen perizinan. Hal ini lah yang menjadi awal petaka bagi Dewi. Ia memang memperoleh pekerjaan di Malaysia.
Namun hak-haknya sebagai pekerja tidak pernah diberikan, ia hanya diperas keringatnya.
“Gajimu sudah diterima orang, kamu itu nggak dapat gaji. Sekarang kamu tinggal kerja di sini, kamu di sini itu budak,” ucap Kades Gogodeso, Suwanda Aribawa, mengulang perkataan Dewi saat menagih gaji ke majikannya.
Setelah beberapa tahun menjadi korban human trafficking, Dewi stres berat. Hingga kemudian pada tahun 2019 ia menjadi gelandangan.
Kabar Dewi yang hidup di jalanan negeri sebarang ini pun sampai ke telinga pengurus KOPI Gogodeso.
KOPI sendiri merupakan komunitas yang beranggotakan eks PMI. Komunitas ini terbentuk berkat pendampingan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) Institute for Education Development, Social, Religions, and Cultural Studies (Infest).
Komunitas ini tak hanya bergerak untuk memberdayakan eks PMI. Tapi juga memberikan pendampingan maupun bantuan hukum ke PMI yang bermasalah di luar negeri. Misalnya KOPI Gogodeso yang memberikan bantuan dalam kasus Dewi.
Ketua KOPI Gogodeso, Imam Rosyadi (45) mangatakan, pihaknya baru mendengar kabar Dewi menjadi gelandangan di Malaysia sekitar Bulan September 2019. Kabar itu diperolehnya dari Ketua KOPI Desa Jatinom Blitar, Waluyo.
“Ini ada warga Gogodeso yang sekarang ini lagi stres di luar negeri, frustasi,” ujar Waluyo dalam pesan singkat via aplikasi percakapan yang diterima Imam.
Mendengar kabar itu, KOPI Gogodeso langsung menggelar rapat internal. Setelah mencari tahu sana sini, akhirnya diperoleh informasi dari pihak desa, bahwa Dewi memang warga Gogodeso, keluarganya tinggal di Dusun Dogong.
Tak hanya melakukan koordinasi internal, lanjut Imam, komunitas yang dipimpinnya itu juga berkoordinasi dengan Pemdes Gogodeso. Pihak desa menyarankan agar KOPI segera membuat surat kuasa dari orang tua Dewi, agar leluasa bergerak.
Setelahnya KOPI mendatangi kediaman Muhammad Sukron dan Siti Rukayah, orang tua Dewi akhir Desember 2019. Tujuannya untuk mengurus surat kuasa dari keluarga. Lalu dibuatlah surat kuasa yang ditandatangani pada 24 Desember 2019.
Sekretaris KOPI Gogodeso Ninik Kristiana menambahkan, setelah mengetahui Dewi bermasalah di luar negeri, Sukron-Rukayah panik.
Sukron kerap berkeluh kesah dan meminta tolong kepada Ninik dan ke Kades Gogodeso, Suwanda Aribawa.
“Mbak gimana ini anakku, gimana caranya biar bisa ketemu lagi sama dia,” kata Ninik dengan mata berkaca-kaca saat menirukan perkataan Sukron sewaktu bertamu ke kediamanya.
Selepas itu, Ninik berkoordinasi dengan pihak desa. Tak lama. dikirimlah surat ke loka pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (LP3TKI) Surabaya pada Februari 2020.
Surat itu ditandatangi Kades Gogodeso dan Camat Kanigoro, suratnya ditembuskan ke Disnaker Blitar.
“Itu surat permohonan. Kita minta tolong sama pihak yang terkait untuk bisa membantu memulangkan warga kami yang bernama Dewi, intinya seperi itu. Kami sertakan juga fotonya (Dewi),” kata Ninik.
Tiga hari pascaberkirim surat, datang surat balasan dari LP3TKI Surabaya. Surat tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan informasi dari KBRI Kuala Lumpur, disebutkan Dewi sudah dideportasi ke Indonesia pada September 2019.
Bak gayung bersambut, informasi itu lantas ditindaklanjuti Pemdes dan KOPI Gogodeso. Mereka lantas mencari tahu kemana Dewi dideportasi. Setelah dicari-cari, KOPI menerima info bila Dewi ‘dipulangkan’ ke Medan, Sumatera Utara.
Tak diketahui secara pasti alasan Dewi dideportasi ke Medan. Sementara seusai mendapat informasi tersebut, atas saran Kades Gogodeso, Ninik menelepon balai pelayanan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia (BP3TKI) Medan.
“Saya bilang, ‘Pak boleh nggak kami minta informasi apakah ada warga yang namanya Dewi’. Terus selang tiga hari ternyata dicari nggak ada data di BP3TKI Medan, data di BP3TKI Medan itu nggak ada yang namanya Dewi,” ungkap Ninik.
Pengurus KOPI dan Pemdes Gogodeso sempat putus asa. Harapan untuk memulangkan Dewi ke Gogodeso kembali muncul setelah Ninik tetiba menerima telepon dari BP3TKI Medan yang menginformasikan bahwa Dewi telah ‘ditemukan’.
“Seingat saya 26 Maret itu pihak Medan ngasih tahu sama saya. Dewi sudah ditemukan, dia dalam keadaan sehat, dia dalam keadaan selamat, dia juga baik-baik saja. Dia ditampung salah satu keluarga di Medan dan diperlakukan baik,” sebutnya.
Ninik lantas berkoordinasi dengan pihak desa. Mereka kemudian berkoordinasi dengan LP3TKI Surabaya untuk memulangkan Dewi. LP3TKI bersedia menfasilitasi, dan pihak desa diminta menjemput Dewi di Bandara Juanda pada 9 April 2020.
Ada empat orang yang menjemput Dewi, mereka yakni Kepala Dusun Dogong yang mewakili Pemdes Gogodeso, Ninik dari KOPI, dan orang tua Dewi. Hanya empat orang yang menjemput Dewi karena ada pembatasan di masa awal pandemi Covid-19.
Tangis pecah saat Dewi bertemu dengan kedua orang tuanya, Sukron dan Rukayah. Setelah kurang lebih delapan tahun tak bertemu, mereka kembali dipertemukan di Terminal 1 Bandar Udara Internasional Juanda, Sidoarjo.
Desa Bisa Berperan
Respon Pemdes Kabonagung Nganjuk dalam kasus Parti Liyani dengan respon Pemdes Gogodeso Blitar dalam kasus Dewi Eko Yuliani jelas berbeda. Dalam kasus Parti, Pemdes Kabonagung terkesan takacuh dan tak ambil pusing.
Hal itu tentu sangat disayangkan, mengingat pihak desa sebenarnya bisa berkontribusi lebih dalam merespon kasus yang menjerat PMI di negeri seberang. Bukan justru pihak desa lepas tangan terhadap kasus yang menimpa warganya.
Menurut Direktur Infest Muhammad Irsyadul Ibad, minimal ada dua peran yang bisa dimaikan pemdes. Pertama memberikan pendampingan psikologis ataupun mensupport keluarga PMI yang sedang memiliki masalah di luar negeri.
“Minimal itu (pihak desa) mengunjungi (keluarga PMI yang berkasus), mengunjungi saja itu sudah suatu support tersendiri,” katanya.
Peran kedua, yakni pihak desa proaktif menanyakan kasus yang menimpa PMI ke Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Sebab, Pemda yang seharusnya lebih bertanggung jawab dalam urusan pengawasan dan perekrutan PMI.
Menurut Ibad, upaya Pemdes Gogodeso Blitar dalam melindungi PMI bisa dicontoh desa lain. Asalkan, desa tersebut menyadari kewenangannya yang telah ditur dalam UU Desa dan UU Perlindungan PMI.
Kemudian yang kedua, aparatur desa harus memiliki perspektif perlindungan terhadap PMI. Mengingat kini masih banyak aparatur desa yang menganggap remeh persoalan PMI, bahkan memandang persoalan itu bukan tanggung jawabnya.
Kontributor : Usman Hadi