SuaraJatim.id - Sejak beberapa waktu lalu viral di media sosial pernyataan dr Lois Owien yang mengatakan sesungguhnya virus corona tidaklah nyata. Ia mengklaim banyaknya pasien meninggal akibat dari interaksi obat.
Pernyataan ini kemudian menimbulkan kegaduhan dan kontroversial di tengah masyarakat. Dokter Lois kemudian viral. Nah, merespons pernyataan itu, Guru besar farmasi UGM Prof Zullies Ikawati, memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan interaksi obat.
Menurut dia, interaksi obat yakni adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada diri seorang pasien.
"Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain (bersifat sinergis atau additif), atau mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan," ujar Zullies, dikutip dari Antara, Selasa (13/07/2021).
Baca Juga:Sempat Ditahan, Ini Alasan Bareskrim Polri Bebaskan Dokter Lois
Berdasarkan penjelasan tersebut, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya. Ada juga yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir dan harus dikaji secara individual.
Banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya. Apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid). Hal serupa juga terjadi pada kasus pasien-pasien COVID-19 yang memiliki komorbid.
Zullies kemudian menyebutkan hipertens sebagai contoh penyakit yang tidak bisa terkontrol hanya dengan obat tunggal. Kadang jenis penyakit ini membutuhkan obat antihipertensi lain yang dikombinasikan dengan dua atau tiga obat antihipertensi lainnya.
Dalam kasus ini Zullies menjelaskan bahwa pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda.
"Sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa diadang dari berbagai penjuru. Dalam hal ini, obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah," ujar Zullies.
Baca Juga:Meski Dibebaskan, Polisi Pastikan Proses Hukum Kasus dr Lois Owien Tetap Berjalan
Lantas bagaimana dengan terapi COVID-19? COVID-19 merupakan salah satu penyakit unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi.
Pada kasus COVID-19 yang bergejala sedang sampai berat misalnya, maka dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.
Karena itu, kata dia, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin. Justru jika tidak mendapatkan obat yang sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian.
Dalam hal ini, dokter tentu akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya. Tidak ada dokter yang ingin pasiennya meninggal dengan obat-obat yang diberikannya.
Interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan bersama.
"Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya," ujar Zullies.
Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan. Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi COVID, atau azitromisin dengan levofloksasin, mereka sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung.
"Jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan," papar Zullies menegaskan.
Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan.
Zullies kemudian mencontohkan interaksi obat yang menyebabkan penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya.
Menghindari interaksi obat
Seperti penjelasan sebelumnya, ada sejumlah penyakit yang harus menggunakan kombinasi obat dalam terapinya. Untuk itu, perlu dipilih obat yang memiliki risiko interaksi terkecil.
Banyak buku-buku teks tentang interaksi obat yang dapat digunakan sebagai panduan dalam memilih obat yang akan dikombinasikan untuk meminimalkan interaksi obat.
Faktanya, tidak semua obat yang digunakan bersama itu menyebabkan interaksi yang signifikan secara klinis. Yang artinya aman-aman saja untuk dikombinasikan atau digunakan secara bersamaan.
Zullies menjelaskan bahwa pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya. Mekanisme interaksi obat itu sendiri bisa melibatkan aspek farmakokinetik (mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).
Karena dampak interaksi obat tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual, maka solusi yang diberikan untuk mengatasi tiap kasus tentu berbeda.
Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa interaksi obat tidak semudah itu menyebabkan kematian.
Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan. Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan yang diperlukan, misal menghentikan atau mengganti obatnya, kata Zullies.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antartenaga kesehatan (dokter, perawat, hingga apoteker) dalam memberikan terapi kepada pasien sehingga dapat memantau terapi dengan lebih cermat dan tidak berdampak membahayakan bagi pasien.