SuaraJatim.id - Pasca tentara Jepang kalah dengan sekutu akibat bom yang meledak di Nagasaki dan Hiroshima, Indonesia kembali didatangi pasukan gabungan dari sekutu. Tujuannya ingin menguasai seluruh wilayah yang dulu sempat menjadi negara jajahan.
Saat Indonesia kembali didatangi tentara penjajah, ada banyak kisah heroik bagaimana pejuang kemerdekaan mengusir para penjajah. Salah satu kisah menarik itu datang dari Kabupaten Gresik Jawa Timur. Dialah Kapten Darmo Sugondo, penghimpun pasukan sipil dari Kota Pudak.
Di bawah komando Kapten Darmo Sugondo, pasukan yang dihimpun dari warga sipil dan militer, akhirnya berhasil mempertahankan wilayah Gresik. Pasukan tersebut tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk khusus di setiap kabupaten dan kota.
Cerita kepahlawanan Darmo Sugondo disampaikan Rio Willy seorang Guru Sejarah di SMANU Gresik. Bahkan dirinya sempat meneliti secara ilmiah yang dituangkan dalam skripisnya berjudul "Kepahlawanan Darmo Sugondo Dalam Mempertahankan Kedaulatan Indonesia Tahun 1945 -1958" tahun 2017.
Baca Juga:Rayakan HUT Kemerdekaan di Sumsel, Berikut Prakiraan Cuacanya
"Darmo Sugondo ini sangat unik, dia orang Muhammadiyah namun kegemarannya bertapa dan suka berkunjung di kuburan. Dia juga banyak minta do'a dengan para kiyai saat di masa perang," katanya, Senin (16/8/20/1).
Diceritakan, Darmo Sugondo sendiri memulai karir militer pertama di Heiho tahun 1943, sebuah institusi militer pasukan cadangan bentukan Jepang. Tak berselang lama, ia kemudian pindah menjadi pasukan Pembela Tanah Air (Peta). Dua institusi itu sama-sama bentukan pemerintah Jepang.
Namum setelah Jepang mengalami kekalahan dengan pihak sekutu, Negeri Matahari Terbit itu akhirnnya menarik pasukannya kembali ke negaranya. Bersamaan dengan hal itu, Jepang juga melakukan penarikan semua senjata yang dimiliki oleh Peta. Bahkan markas Peta di Buduran, Sidoarjo, tempat Darmo Sugondo bertugas tidak lepas dari aksi penglucutan senjata oleh Jepang.
"Saat Jepang kalah, semua pasukan Peta dipulangkan ke daerah asal. Nah saat itulah, Darmo Sugondo pulang ke Gresik dengan mendirikan BKR dibawah pimpinan Mayjen Sungkono di Surabaya," kata Rio.
Pada Oktober 1946, ketika pasukan gabungan dari sekutu, diantaranya, Inggris, Belanda dan India berhasil memasuki Surabaya. Kapten Darmo Sugondo mempimpin pasukan batalyon 3 BKR Gresik dengan basis perjuangannya di Kalitangi Segoromadu atau perbatasan antara Gresik dan Surabaya.
Baca Juga:Baim Wong Resmi Akuisisi Gresik United?
"Sebenarnya keberadan Darmo Sugondo di Segoromadu adalah untuk membackup pasukan yang dipimpin Kapten Dulasim yang berada di pinggiran Surabaya," tukasnya.
Lalu pada Desember 1946, pertahanan pasukan yang dipimpin Kapten Dulasim berhasil dibobol oleh tentara sekutu. Disaat itulah, Darmo Sugondo dengan pasukannya melakukan penyerbuan agar sekutu tak masuk wilayah Gresik. Sayangnya, pasukan dari Darmo juga kewalahan.
Mereka kocar-kacir dan melarikan diri. Dalam pelarian itu, pasukan terbelah menjadi dua kelompok, ada yang kabur naik gunung Lengis (saat ini Stadion Gelora Joko Samudro) dan ada juga yang ke gunung Putri Cempo.
Lalu pada Maret 1947, pasukan yang dikomandani Darmo Sugondo bertemu dengan pasukan tentara sekutu di Jembatan Kalitangi Segoromadu. Keduanya perperang saling tembak. Namun sayangnya, dalam peperangan itu Darmo terkena tembakan dan dilarikan ke daerah Lamongan.
"Usai dilarikan ke Lamongan untuk dioperasi lukanya, Darmo kembali turun memimpin pasukan karena melihat anak buahnya banyak yang tumbang," ujarnya.
Karena sitausi yang tidak memungkinkan, Darmo Sugondo akhirnya diminta mundur oleh Mayjen Sungkono selaku pimpinan BKR Jatim. Saat itulah sekutu berhasil memasuki Kota Gresik. Sedangkan Darmo sendiri melarikan diri di Lamongan. Tapi disana ia tidak diterima baik oleh warga sekitar, karena kedatangan pasukan Darmo dinggap malah membahayakan mereka.
"Warga sekitar takut kalau pasukan Darmo menetap di sana, pasukan sekutu akan mengejar sampai ke Lamongan. Saat itu mau tidak mau dia kembali ke Gresik di wilayah Kecamatan Sidayu," katanya.
Di Kecamatan Sidayu itu lah, Darmo Sugondo kembali menghimpun kekuatan. Ia mengumpulkan para kiyai dan pejabat camat untuk mengakomodir supaya para pemuda dan orang dewasa mau bergabung dengan pasukannya melawan penjajah. Dengan bantuan pasukan tambahan itu, Darmo mulai yakin pertempuran akan dimenangkan olehnya.
"Saat itu semua diberi tugas masing-masing, Camat diberi tugas agar memberikan info kalau ada tentara sekutu datang maka latihan perang diberhentikan dulu. Kemudian peran kiyai juga tak luput, mereka dimintai do'a," kata Guru Sejarah kelahiran Gresik itu.
Selain mendapatkan bantuan pasukan dari rakyat Sidayu, Darmo Sugondo juga mendapatkan bantuan pasokan senjata dari BKR Mojokerto. Melihat kekuatan sudah terhimpun, barulah Darmo mulai memberangkatkan pasukannya menuju Kalitangi perbatasan pintu masuk Gresik dari Surabaya.
"Saat memberangkatkan menuju kota, Darmo membagi pasukannya menjadi dua kelompok dengan jalur yang berbeda. Satu batalyon dikirim melalui jalur Manyar tembus ke Alun-alun. Kemudian satunya melalui jalan Desa Suci lalu ke Desa Ngipik. Intinya dua kelompok itu nanti bertemu di titik yang ditentukan," tutur Alumnus Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
Setelah sampai di jembatan Kalitangi, kecerdasan Darmo sebagai pimpinam pasukan perang teruji. Ia menyusun rencana yang nantinya akan membawa namanya terus harum sampai kini. Yakni, strateginya menghancurkan jembatan Kalitangi supaya akses tentara sekutu menuju ke Gresik terputus.
Namun sebelum jembatan itu diledakkan dengan tiga bom berukuran besar, Darmo lebih dulu mengutus sebagain pasukannya di sebrang jembatan wilayah Surabaya. Sebagian pasukan lagi di sebrang jembatan wilayah Gresik. Dengan begitu, ketika tentara sekutu datang akan mudah disergap dari segala arah.
"Akhirnya pada tahun yang sama 1947 pasukan Darmo berhasil memenangkan pertempuran," ujarnya.
Atas kegigihannya juga, Darmo Sugondo berhasil menjabat beberapa pos strategis di tubuh militer TNI. Antara lain, Komandan Kodam Tambun Bungah, Kalimantan Tengah. Lalu saat beberapa bulan menjabat, Darmo Sugondo lalu menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1958 dan dikuburkan di Makam Pahlawan di Kalibata Jakarta.
Sang pejuang kemerdekaan itu kini sudah tidada. Tugasnya memang sudah purna, namun nama dan perjuangannya tetap abadi dan bisa dirasakan anak cucu. Karena jasanya juga, nama Darmo Sugondo juga diberi nama jalan di beberapa kota dan kabupaten. Antara lain, jalan di Gresik, Mojokerto dan Sumatra Selatan.
"Sayangnya meski perjuangannya begitu kental, hingga kini Darmo Sugondo belum juga ditetapkan sebagai Pahlawan Indonesia. Karena itu tujuan skripsi saya kemarin disamping mengabadikan cerita agar tidak hilang, juga menguslkan agar beliau diangkat jadi pahlawan," katanya.
Kontributor : Amin Alamsyah