'Jual Beli atau Upeti' Jabatan Baru Seperti Kasus Bupati Probolinggo Itu Modus Lama

Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) Atha Nusasi menilai kasus jual beli jabatan atau upeti--seperti kasus Bupati Probolinggo--di pemerintahan daerah merupakan modus lama

Muhammad Taufiq
Rabu, 01 September 2021 | 07:51 WIB
'Jual Beli atau Upeti' Jabatan Baru Seperti Kasus Bupati Probolinggo Itu Modus Lama
Ilustrasi - korupsi. ANTARA/Shutterstock/am.

SuaraJatim.id - Koordinator Malang Corruption Watch (MCW) Atha Nusasi menilai kasus jual beli jabatan atau upeti--seperti kasus Bupati Probolinggo--di pemerintahan daerah merupakan modus lama.

Hal ini dikatakan Atha terkait kasus jual beli jabatan yang menjerat Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari bersama 21 orang lain yang mayoritas adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Kasus di Probolinggo ini menambah deretan panjang kasus korupsi kepala daerah di Jatim yang membuatnya menjadi yang tertinggi di Indonesia, yakni sebanyak 15 kasus.

MCW melihat jika setiap kasus dugaan suap berkaitan dengan pemilihan kepala desa tak bisa lepas dari posisi kekuasaan bupati selaku pimpinan di daerah. Jabatan kepala desa mungkin dipandang tak seberapa bagi kalangan elit.

Namun, posisi kepala desa memiliki peran penting dalam roda pemerintahan. Gegara bernafsu mendapatkan jabatan tersebut, para calon kepala desa di Kabupaten Probolinggo rela merogoh kantong memuluskan niat mereka.

Baca Juga:Politisi Ini Tagih Janji Surya Paloh Bubarkan Nasdem, Jika Kadernya Maling Uang Rakyat

Pada akhirnya Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari bersama suaminya yang anggota DPR RI Hasan Aminuddin harus berurusan dengan KPK RI lewat operasi tangkap tangan pada Senin (30/8/2021) kemarin. Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka kasus jual beli jabatan kades.

Pemilihan kades serentak tahap II di Probolinggo itu sejatinya akan diagendakan pada 27 Desember mendatang. Tetapi, pemilihan itu diputuskan menjadi 9 September 2021 dengan 252 jabatan kepala desa yang akan diisi.

Berdasarkan keterangan KPK, sejumlah usulan nama harus mendapat persetujuan dari orang kepercayaan Puput, yakni suaminya bernama Hasan Aminuddin. Persetujuan ini berbentuk paraf pada nota dinas pengusulan nama. Para calon pejabat kepala desa juga diwajibkan memberikan dan menyetorkan sejumlah uang.

KPK RI menyampaikan, para tersangka mematok tarif jabatan kades di wilayahnya itu sebesar Rp 20 juta ditambah upeti tanah kas desa dengan tarif Rp 5 juta per hektare. "Dengan kekuasaan itu, ia gunakan untuk memberi stempel legitimasi bagi para calon yang telah ditentukan," ucap Atha.

Dengan begitu, lanjut Atha, masyarakat desa akan mendukung calon desa yang telah mendapat rekomendasi dari bupati. Namun Atha menegaskan, masih ada pertanyaan penting yang patut dijawab oleh KPK.

Baca Juga:Roda Pemerintahan Kabupaten Probolinggo Tak Terimbas OTT KPK

Bagaimana bisa para broker (perantara) itu bisa bekerja sama dengan para calon dan bupati jika sebelumnya tidak memiliki hubungan yang saling menguntungkan? "Seperti para calon itu jangan-jangan adalah orang yang dulu bekerja untuk kemenangan bupati," ucapnya heran.

Menentang Prinsip Demokrasi

Selanjutnya, ia menilai intervensi bupati dalam menentukan calon kepala desa adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi desa. Bahkan menghianati prinsip desa sebagai pemerintahan semi otonom.

"Pemerintah yang secara politik, pimpinannya dipilih oleh rakyat desa justru di intervensi dengan cara-cara transaksional," ujarnya.

Oleh sebab itu, Atha meminta KPK mesti menelusuri lebih jauh perihal hubungan saling menguntungkan antar Bupati Probolinggo, suaminya yang DPR RI, camat, para broker dan calon kepala desa yang terlibat tentang bagaimana hubungan itu terbentuk.

"Ini penting untuk mengetahui modus korupsi politiknya," tegas Atha.

Diketahui, dari perkara suap jual beli jabatan kades tersebut, KPK mengamankan sejumlah barang bukti. Diantaranya berbagai dokumen dan termasuk uang sejumlah Rp 362.500.000,00.

Sebelumnya, KPK menetapkan 22 orang termasuk Bupati Probolinggo dan suaminya sebagai tersangka suap berkaitan dengan jual-beli jabatan kepala desa atau kades di Kabupaten Probolinggo.

RInciannya, 18 orang merupakan tersangka pemberi suap berkaitan dengan jabatan kepala desa di Kabupaten Probolinggo sedangkan 4 orang lainnya sebagai penerima suap.

Pemberi suap akan disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Dan penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Penerima suap tersebut di antaranya yakni Puput Tantriana Sari, sebagai Bupati Probolinggo Hasan Aminuddin sebagai Anggota DPR RI. Doddy Kurniawan, Camat Krejengan dan Muhammad Ridwan, Camat Paiton.

Dan kini mereka sudah ditetapkan tersangka oleh KPK RI. Berdasarkan data MCW, kasus ini semakin memperpanjang daftar kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi di Jatim.

Tarif kepala desa di Probolinggo Rp 20 juta

KPK menyebut tarif untuk menjadi pejabat kepala desa (kades) di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur sebesar Rp 20 juta. "Ditambah dalam bentuk upeti penyewaan tanah kas desa dengan tarif Rp 5 juta per hektare," kata Alexander Marwata menambahkan.

Dalam konstruksi perkara, Alex menjelaskan bahwa dengan akan dilaksanakannya pemilihan kepala desa serentak tahap II di wilayah Kabupaten Probolinggo yang awalnya diagendakan pada 27 Desember 2021, dilakukan pengunduran jadwal pemilihan sehingga terhitung 9 September 2021.

Terdapat 252 kepala desa dari 24 kecamatan di Kabupaten Probolinggo yang selesai menjabat. "Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala desa tersebut, maka akan diisi oleh penjabat kepala desa yang berasal dari para ASN di Pemkab Probolinggo dan untuk pengusulannya dilakukan melalui camat," katanya.

Selain itu, ujar dia, ada persyaratan khusus dimana usulan nama para pejabat kepala desa harus mendapatkan persetujuan Hasan Aminuddin (HA) selaku Anggota DPR RI yang juga suami Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari (PTS) dalam bentuk paraf pada nota dinas pengusulan nama sebagai representasi dari Puput, dan para calon pejabat kepala desa juga diwajibkan memberikan dan menyetorkan sejumlah uang.

"Diduga ada perintah dari HA memanggil para camat untuk membawa para kepala desa terpilih dan kepala desa yang akan purnatugas. HA juga meminta agar kepala desa tidak datang menemui HA secara perseorangan akan tetapi dikoordinir melalui camat," kata Alex.

Ia mengatakan pada Jumat (27/8), 12 pejabat kepala desa menghadiri pertemuan di salah satu tempat di wilayah Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo di mana diduga dalam pertemuan tersebut telah ada kesepakatan untuk memberikan sejumlah uang kepada Puput melalui Hasan dengan perantaraan Doddy Kurniawan (DK) selaku ASN/Camat Krejengan.

"Pertemuan tersebut di antaranya dihadiri oleh AW (Ali Wafa), MW (Mawardi), MI (Maliha), MB (Mohammad Bambang), MR (Masruhen), AW (Abdul Wafi), KO (Kho'im) dan dari yang hadir ini telah disepakati untuk masing-masing menyiapkan uang sejumlah Rp 20 juta, sehingga terkumpul sejumlah Rp 240 juta," ujar Alex.

Sedangkan untuk mendapatkan jabatan selaku pejabat kepala desa di wilayah Kecamatan Paiton, Muhammad Ridwan telah pula mengumpulkan sejumlah uang dari para ASN hingga berjumlah Rp 112.500.000 untuk diserahkan kepada Puput melalui Hasan. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini