Sidang Praperadilan Anak Kiai Ternama di Jombang, Tersangka Kasus Pencabulan

Sidang praperadilan yang diajukan tersangka MSAT (39), tersangka kasus pencabulan yang merupakan anak dari kiai ternama di Jombang digelar, Kamis (20/01/2022).

Muhammad Taufiq
Kamis, 20 Januari 2022 | 16:12 WIB
Sidang Praperadilan Anak Kiai Ternama di Jombang, Tersangka Kasus Pencabulan
Sidang praperadilan kasus pencabulan anak kiai Jombang [Foto: Beritajatim]

SuaraJatim.id - Sidang praperadilan yang diajukan tersangka MSAT (39), tersangka kasus pencabulan yang merupakan anak dari kiai ternama di Jombang digelar, Kamis (20/01/2022).

Sidang diawali dengan pembacaan gugatan oleh kuasa hukum MSAT, yakni Deny Hariyatna dan Rio Ramabaskara. Mereka membacakan gugatan setebal 18 halaman itu secara bergantian. Sedangkan dari termohon diwakili oleh kuasa hukum masing-masing.

Dalam sidang di PN Jombang ini, para tergugat hadir. Ada empat perwakilan tergugat, Yakni dari Kejaksaan Negeri Jombang Mujib Syaris, Kejati Jatim Sulistiono, kemudian dari Polres Jombang dan Polda Jatim diwakili Bidang Hukum Polda Jatim, Rahmad dan Ponirah.

Sidang digelar secara terbuka. Sejumlah petugas dari Polres Jombang siaga di sekitar lokasi. PN Jombang juga memasang pengeras suara dan layar monitor di halaman.

Baca Juga:Polisi Mau Jemput Paksa Anak Kiai Jombang Tersangka Pencabulan, Menghalangi Bisa Dijerat Pidana

Dalam sidang tersebut, kuasa hukum MSAT membacakan permohonan praperadilan terhadap penetapan kiennya sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP atau Pasal 294 KUHP oleh Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jombang.

Kuasa hukum lalu membeberkan alasan penetapan tersangka terhadap MSAT harus dibatalkan. Menurutnya, dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, penetapan tersangka dalam hukum acara pidana harus berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.

"Kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Lebih lanjut dalam pertimbangan putusan tersebut disebutkan bahwa pemeriksaan calon tersangka adalah sebagai suatu keharusan," kata Denu seperti dikutip dari beritajatim.com, jejaring media suara.com.

Hal ini, kata Deny, berangkat dari isi KUHAP yang menganut prinsip acusatoir di mana tersangka diperlakukan sebagai subjek bukan objek.

"Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan dalam putusannya tersebut bahwa ‘menyertakan pemeriksaan calon tersangka di samping minimum dua alat bukti tersebut di atas, adalah untuk tujuan transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat memberikan keterangan yang seimbang," lanjutnya.

Baca Juga:Kecelakaan Beruntun di Jombang Libatkan 7 Kendaraan Gegara Bus Bagong Rem Blong

Pemohon, kata dia, tidak pernah diminta keterangan dan tidak dapat melakukan klarifikasi terhadap apa yang disangkakan kepada Pemohon.

"Tindakan Termohon I (Polres Jombang) tersebut adalah tindakan yang tidak sah, dan penetapan tersangka terhadap diri pemohon harus dibatalkan," katanya.

Alasan lainnya, lanjut Deny, pemohon mengetahui dirinya sebagai tersangka saat menerima Surat Panggilan sebagai Tersangka oleh Termohon I sebagaimana Surat Panggilan Nomor: S.Pgl/175/XI/RES. 1.24./2019 Satreskrim, tertanggal 25 November 2019.

Dalam surat itu pemohon diminta hadir pada 28 November 2019 guna diminta keterangannya sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana Pasal 285 KUHP atau Pasal 294 KUHP sebagaimana Laporan Polisi Nomor: LPB/392/X/RES.1.24/2019/JATIM.RES.JBG tanggal 29 Oktober 2019.

"Padahal, berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan KUHAP, Polisi selaku penyidik dan penyelidik memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan. Namun demikian proses penyelidikan atas Laporan Polisi tersebut tidak dilakukan secara objektif karena tidak meminta keterangan Pemohon selaku Terlapor," katanya.

Deny menegaskan, dengan tidak pernah dimintakan keterangan dalam proses penyelidikan atas diri Pemohon, maka dapat dikatakan bahwa Termohon I tidak menerapkan asas due process of law dalam penyidikan perkara pidana yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.

"Untuk itu patut dinyatakan cacat hukum karena tidak mengacu asas objektivitas dan transparansi serta melanggar hak asasi manusia, sehingga Penetapan Tersangka harus dibatalkan," ujarnya.

"Sidang ini akan diputuskan selama tujuh hari kerja terhitung mulai Jumat besok. Perkara ini diputuskan paling lambat 31 Januari 2022. Namun demikian, bisa lebih cepat dari jadwal persidangan yang sudah ditentukan, tergantung dari pemohon dan termohon," kata hakim Dodik.

Kuasa hukum Polda Jatim dan Polres Jombang Rahmad Hardadi tak mau berkomentar banyak. Dia hanya mengatakan bahwa jawaban tersebut akan ia bacakan pada persidangan besok.

"Kita sudah siapkan jawaban. Sesuai jadwal sidang, kita bacakan Jumat besok," ujarnya singkat.

MSAT merupakan anak seorang kiai di Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur. Pada Oktober 2019, MSAT dilaporkan ke Polres Jombang atas dugaan pencabulan terhadap perempuan di bawah umur asal Jawa Tengah dengan Nomor LP: LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RESJBG.

Korban merupakan salah satu santri atau anak didik MSAT. Selama penyidikan oleh Polres Jombang, MSAT tak pernah sekalipun memenuhi panggilan penyidik. Kendati demikian MSAT telah ditetapkan sebagai tersangka pada November 2019.

Kasus ini kemudian ditangani Polda Jatim. Namun polisi ternyata belum bisa mengamankan MSAT. Upaya jemput paksa pun sempat dihalang-halangi jemaah pesantren setempat. MSAT lalu menggugat Kapolda Jatim. Ia menilai penetapan dirinya sebagai tersangka tidak sah. Namun gugatan praperadilan itu ditolak hakim .

Dia mengajukan ulang praperadilan di Pengadilan Negeri Jombang, setelah kalah dalam praperadilan pertama di Surabaya. Praperadilan kedua ini juga menyebut Polres Jombang dan Kejaksaan Negeri setempat sebagai tergugat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini