SuaraJatim.id - Beberapa waktu lalu seorang pegiat media sosial, Babeh Aldo, mengatakan kalau gelombang Pandemi Covid-19, terutama Varian Omicron ini sebagai polusi.
Dalam video tersebut, Aldo menyebut bahwa zat PM2,5 yang meracuni udara akan membuat banyak warga masyarakat di perkotaan, sehingga menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, atau ISPA, anosmia, badai sitokin, hingga yang disebut COVID-19.
Merespons hal itu, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meluruskan adanya miskonsepsi pernyataan bahwa polusi udara menyebabkan gelombang COVID-19 varian Omicron.
Pelaksana tugas Deputi Bidang Klimatologi Urip Haryoko, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, menjelaskan PM2,5 merupakan aerosol dengan ukuran diameter partikel kurang dari 2,5 mikrometer dan tergolong sebagai salah satu pencemar udara.
Baca Juga:Melebihi Gelombang Delta, Indonesia Pecah Rekor Kasus Harian Selama Pandemi Covid-19
Urip melanjutkan bahwa memang peningkatan konsentrasi PM2,5 di udara menyebabkan terjadinya penurunan kualitas udara yang secara visual dapat berdampak pada penurunan jarak pandang dan peningkatan kekeruhan kondisi atmosfer.
“Paparan terhadap konsentrasi PM2,5 yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada cardiovascular dan saluran pernapasan, terutama jika terpapar dalam waktu yang lama,” ujar Urip.
Urip menjelaskan nilai ambang batas konsentrasi PM2,5 menurut Peraturan BMKG Nomor 2 Tahun 2020 adalah sebesar 65 µg/m3.
Akibat dampak tersebut, lanjut dia, muncul kesalahpahaman informasi atau miskonsepsi yang menyebut bahwa pencemaran udara menjadi penyebab penularan virus Sars-Cov-2 dan peningkatan pasien positif COVID-19.
Urip menambahkan, sebagai lembaga yang melakukan kegiatan monitoring dan analisis PM2,5, BMKG dipandang perlu meluruskan miskonsepsi di atas dengan memberikan penjelasan mengenai kondisi monitoring PM2,5, dampak, dan keterkaitannya dengan COVID-19.
Baca Juga:Puluhan Warga Terpapar Omicron, Bukittinggi Terapkan PPKM Level 3
Bukti ilmiah
- 1
- 2