Namun, masyarakat Indonesia mengadaptasinya dengan menambahkan kecap manis, pala, cengkeh, dan berbagai rempah lokal lainnya. Penambahan kecap manis inilah yang menjadi kunci pembeda, memberikan rasa manis khas Nusantara yang begitu disukai.
3. Spikoe, Kue Lapis Para Bangsawan

Bagi pecinta kue, terutama di Surabaya, Spikoe atau lapis Surabaya adalah kudapan premium yang sering dijadikan oleh-oleh. Kue mewah ini ternyata memiliki akar dari tradisi minum teh para bangsawan Belanda.
Namanya pun berasal dari bahasa Belanda, 'Spekkoek'.
Baca Juga:Apesnya Nasib Persela, Didenda Rp10 Juta dan Dihukum 4 Laga Tanpa Penonton
Pada zaman kolonial, Spikoe disajikan sebagai hidangan pelengkap saat jamuan minum teh kaum Eropa.
Ciri khas kue ini adalah lapisannya yang diisi dengan selai dan terkadang ditambahkan kismis atau buah kering lainnya, menciptakan perpaduan rasa manis dan legit yang klasik.
4. Klappertart, Manisnya Kelapa Manado Berpadu Resep Eropa
![Klapertar makana khas manado. [Istimewa]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/15/73494-klapertar.jpg)
Meski dikenal sebagai oleh-oleh khas Manado, Klappertart adalah bukti nyata perpaduan kekayaan alam Indonesia dengan teknik kuliner Eropa.
Namanya merupakan gabungan dua bahasa: 'klapper' yang merujuk pada kata kelapa, dan 'taart' yang dalam bahasa Belanda berarti kue.
Baca Juga:Kebobolan Menit Akhir, Ini Penyebab Persela Gagal Menang Lawan Rans Nusantara FC
Menurut sejarah, resep ini muncul ketika para pedagang Belanda di Manado melihat melimpahnya hasil kelapa di wilayah tersebut.
Mereka kemudian berkreasi menciptakan kue berbahan dasar kelapa, daging kelapa muda, susu, tepung, dan mentega. Hasilnya adalah hidangan penutup yang lembut, manis, dan gurih, yang hingga kini menjadi ikon kuliner Sulawesi Utara.
5. Selat Solo, Bistik Jawa Adaptasi Steak Eropa

Selat Solo adalah hidangan khas Surakarta yang sekilas tampak seperti salad, namun memiliki isian lengkap berupa daging, telur, dan sayuran.
Usut punya usut, hidangan ini merupakan bentuk adaptasi dari steak atau bistik Eropa yang disesuaikan dengan selera bangsawan Keraton Surakarta.
Pada masa itu, kaum bangsawan keraton dan orang Belanda sering berinteraksi, termasuk dalam urusan kuliner.