- KH Zaini Mun'im, Kiai dari Paiton, memimpin perlawanan spiritual dan fisik terhadap PKI di Probolinggo.
- Ia menggunakan strategi dakwah untuk melawan propaganda dan membekali santri dengan amalan spiritual.
- Jaringan intelijen santri dimanfaatkan untuk memetakan kekuatan dan melumpuhkan gerakan PKI.
SuaraJatim.id - Di tengah panasnya situasi politik pasca-Gerakan 30 September (G30S) 1965, saat narasi kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI) menyebar luas, seorang ulama kharismatik dari Paiton, Probolinggo, tampil sebagai komandan pergerakan.
KH Zaini Mun'im, pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid, tidak hanya melawan komunisme dengan retorika, tetapi juga dengan strategi perang spiritual dan taktik intelijen yang melibatkan santrinya.
Jauh sebelum pecah peristiwa G30S, Kiai Zaini telah mencium gelagat bahaya dari ideologi komunis yang dianggapnya bertentangan dengan nilai-nilai agama dan kebangsaan.
Kegelisahan ini mendorongnya untuk mempersiapkan para santri dan masyarakat sekitar, tidak hanya dengan ilmu agama, tetapi juga dengan kesadaran bela negara yang tinggi. Baginya, perjuangan mempertahankan negara adalah bagian dari ibadah.
Baca Juga:Solidaritas Tanpa Batas: Ojol Jatim Kirimkan Doa dan Bantuan untuk Keluarga Almarhum Affan
"Orang yang tinggal di Indonesia dan tidak berjuang ia telah melakukan perbuatan maksiat," demikian salah satu pernyataan tegas KH Zaini Mun'im yang terus membakar semangat para pengikutnya dukutip dari laman NU Online.
Ketika teror dan fitnah yang dilancarkan oleh simpatisan PKI mulai menyasar para kiai dan tokoh masyarakat di Probolinggo, Kiai Zaini tidak tinggal diam.
Sebagaimana dikutip dari NU Online, ia segera mengambil peran sebagai "panglima perang" yang mengoordinasikan perlawanan. Langkah pertamanya adalah mengonsolidasikan kekuatan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dan para santri senior.
Perang Urat Saraf dan Kekuatan Spiritual
![KH Zaini Mun'im, pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid. [Wikipedia]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/17/21488-kh-zaini-munim-yang-melawan-pki.jpg)
Strategi Kiai Zaini Mun'im terbilang unik karena memadukan pendekatan fisik dan spiritual. Ia memahami bahwa PKI bergerak efektif melalui propaganda dan perang urat saraf untuk memecah belah masyarakat.
Baca Juga:Survei ARCI Ungkap Harapan Warga Jatim Kepada Khofifah-Emil: Jalan Rusak Hingga SMA Tanpa Pungli
Untuk melawannya, Kiai Zaini menginstruksikan para santri dan dai binaannya untuk menggencarkan dakwah di desa-desa, membantah fitnah PKI, dan memperkuat akidah masyarakat agar tidak goyah.
"Setiap ada isu miring atau fitnah yang disebar PKI, Kiai Zaini selalu menyuruh santrinya untuk turun langsung memberikan penjelasan kepada masyarakat. Jangan biarkan racun itu menyebar," ungkap salah satu santri senior dalam sebuah catatan sejarah lisan.
Di sisi lain, Kiai Zaini membekali pasukannya dengan "amunisi" spiritual. Sebelum para santri dan Banser bergerak, mereka selalu dibekali dengan ijazah, doa-doa khusus, dan amalan tertentu untuk menguatkan mental dan memohon perlindungan.
Ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah taktik untuk menanamkan keyakinan dan keberanian, bahwa perjuangan mereka direstui Tuhan. Pesantren Nurul Jadid menjadi pusat komando, tempat strategi disusun dan kekuatan spiritual ditempa.
Intelijen Santri dan Gerakan Senyap
Salah satu kunci keberhasilan pergerakan yang dipimpin Kiai Zaini adalah pemanfaatan jaringan intelijen santri. Para santri yang tersebar di berbagai pelosok Probolinggo bertindak sebagai mata dan telinga.
Mereka mengumpulkan informasi mengenai pergerakan anggota PKI, lokasi basis mereka, serta nama-nama tokoh yang menjadi target.
Informasi ini kemudian dilaporkan ke pusat komando di Nurul Jadid untuk dianalisis sebelum mengambil tindakan. Gerakan ini dilakukan secara senyap dan terstruktur, berkoordinasi dengan aparat keamanan. Taktik ini terbukti efektif untuk melumpuhkan sel-sel PKI di wilayah Tapal Kuda tanpa menimbulkan kekacauan yang lebih besar.
Peran KH Zaini Mun'im dalam peristiwa G30S PKI di Probolinggo menjadi bukti bahwa perlawanan terhadap komunisme saat itu tidak hanya dimotori oleh militer.
Para ulama dan santri, dengan kekuatan spiritual, jaringan yang solid, dan kecintaan pada tanah air, menjadi benteng pertahanan ideologi bangsa yang kokoh di tingkat akar rumput.