- DPRD Jatim sebut Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima masih terlalu kecil.
- Padahal 60 persen penerimaan cukai nasional disumbang dari perusahaan asal jatim.
- Penerimaan dana bagi hasil tembakau diusulkan ditingkatkan.
SuaraJatim.id - Wakil Ketua Komisi C DPRD Jatim Agus Wicaksono menilai Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diterima masih terlalu kecil. Harusnya, persentase lebih besar lagi.
Bukan tanpa alasan, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim itu mengungkapkan, Jawa Timur sebagai penyumbang terbesar penerimaan cukai hasil tembakau nasional sudah semestinya mendapat DBHCHT lebih besar.
Idealnya, kata dia, bisa mendapatkan 5 persen dari total penerimaan cukai dari Jatim pada tahun 2025 yang ditarget sebesar Rp138,46 Triliun.
“Jatim ini menyumbang lebih dari Rp100 triliun rupiah untuk penerimaan cukai hasil tembakau secara nasional, tapi yang dikembalikan ke daerah dalam bentuk Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) itu sangat kecil. Bisa dibilang sangat timpang," ujarnya, Senin (29/9/2025).
Baca Juga:DPRD Jatim: PAD Bisa Naik Tanpa Harus Membenani Rakyat
Data Bea Cukai menunjukkan bahwa pada tahun 2024 penerimaan negara dari cukai hasil tembakau mencapai lebih dari Rp220 triliun. Dari jumlah tersebut, lebih dari 60 persen atau sekitar Rp132 triliun disumbang oleh pabrik rokok yang tersebar di Jawa Timur, khususnya di Kediri, Malang, Pasuruan, Sidoarjo, dan Surabaya.
Meski kontribusinya sangat besar, Jawa Timur hanya memperoleh bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) sekitar Rp3,2 triliun untuk seluruh wilayah. Angka itu bahkan tidak mencapai 3 persen dari total kontribusi yang diberikan.
Sementara itu, daerah harus menanggung berbagai dampak dari industri rokok, mulai dari biaya kesehatan, pengawasan rokok ilegal, hingga penanganan masalah sosial yang ditimbulkan.
“Ini ironi. Jatim dapat beban penuh, produksi, pengawasan, distribusi. Tapi manfaat fiskalnya minim. Kami minta pemerintah pusat fair. idealnya DBHCHT untuk Jatim minimal sebesar 3-5 persen lah dari total penerimaan, kalau tidak begitu maka kekuatan APBD Jatim akan terus melemah,” tegas Agus.
Sementara itu, di lain sisi porsi transfer dari pemerintah pusat cenderung stagnan, bahkan menurun sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Baca Juga:DPRD Jatim: Masalah di Koridor Baru TransJatim Harus Selesai Sebelum Peresmian
Pemberlakuan UU No. 1 Tahun 2022 memang menggerus penerimaan pemerintah provinsi dari sektor pajak kendaraan bermotor. Distribusi dana yang sebelumnya bisa digunakan untuk memperkuat PAD menjadi terbatas.
Ruang fiskal provinsi menjadi semakin menyempit. Sementara itu, ada sektor lain yang seharusnya bisa menambah dari dana bagi hasil tembakau. "Ini bukan hanya soal fiskal, tapi juga soal keadilan bagi daerah penghasil,” tegasnya.
Agus Wicaksono berkomitmen untuk mengawal langkah-langkah strategis terutama yang menjadi bidang komisi yang di tempatinya.
Pihaknya mengaku saat ini sedang menggodok usulan formal ke DPR RI dan Kementerian Keuangan terkait perubahan formula pembagian DBHCHT dan peluang perluasan pungutan daerah di sektor turunan rokok.
“Jika pengembalian bagi hasil cukai tembakau untuk Jawa Timur itu ditingkatkan menjadi 5 persen, maka manfaatnya untuk perekonomian masyarakat jawa timur akan semakin besar,” ungkapnya.
Dia yakin dengan porsi yang ideal akan mampu menopang pembangunan berbasis kerakyatan.