Scroll untuk membaca artikel
Dwi Bowo Raharjo
Minggu, 12 Mei 2019 | 10:10 WIB
Salat tarawih kilat di Masjid halaman komplek Pondok Pesantren Mambaul Hikmah, Mantenan, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar. (Suara.com/ Agus H)

Tidak lama setelah itu, imam salat mengucapkan sepenggal bacaan shalawat sebagai tanda berakhirnya 20 rakaat salat tarawih. Jamaah pun berdiri lagi, bersiap melanjutkan ibadah dengan 3 rakaan salat withir, salat sunat yang diyakini sebagai salat penutup aktivitas manusia di malam hari.

Total 23 rakaat usai sudah. Dua bedug, satu kenthongan di serambi masjid ditabuh, dengan irama dan ketukan musik menyerupai sebuah mars.

Tapi bunyi bedug dan kenthongan tersebut mengiringi lantunan shalawat yang dinyanyikan sebagaian jamaah yang masih bertahan. Sementara sebagian besar jamaah mulai meninggalkan masjid dan menuju rumah masing-masing. Beberapa dari mereka terlihat wajahnya basah berkeringat.

Berdasarkan perhitungan yang dibuat Suara.com, salat tarawih dan salat withir di Masjid Pondok Pesantren Mambaul Hikmah tersebut diselesaikan tidak lebih dari 10 menit.

Baca Juga: Lima Tips Diet di Bulan Ramadan

“Meski cepat, tapi salat tarawih di sini tidak melanggar satupun syarat sah dan rukunnya salat,” ujar KH Dliyauddin Azzamzami yang ditemui di serambi masjid.

Dliyauddin menerangkan, tradisi salat tarawih cepat tersebut telah berlangsung selama lebih dari satu abad, yaitu sejak era kakeknya, KH Abdul Gofur, yang mendirikan Pondok Pesantren Mambaul Hikam sekitar tahun 1907.

Menurutnya, tradisi tersebut dipertahankan justru agar orang yang sedang menjalankan ibadah puasa dan bekerja di siang hari tetap bisa menjalankan ibadah salat tarawih.

“Seharian berpuasa dan bekerja, kalau salat tarawihnya lama, kapan bisa istirahat? Besok masih harus bekerja dan berpuasa,” ujarnya.

Kontributor : Agus H

Baca Juga: Ruko di Eks Terminal Kepandean Jadi Tempat Prostitusi saat Malam Ramadan

Load More