Scroll untuk membaca artikel
Reza Gunadha
Jum'at, 27 Maret 2020 | 18:16 WIB
Profesor Dr drh Chairul Anwar Nidom atau Profesor Nidom, Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. (dok pribadi)

SuaraJatim.id - Penelitian pembuatan formulasi penangkal virus corona Covid-19 yang diinisiasi Tim Riset Corona & Formulasi Vaksin dari Profesor Nidom Foundation (PNF), pimpinan Profesor CA Nidom, mulai mendapat titik terang.

Profesor Nidom, kepada beritajatim.com mengakui, saat ini riset dan pembuatan formulasi penangkal virus Corona atau Covid 19 sedang tahap finalisasi, Jumat (27/3/2020).

“Alhamdulillah sudah sampai tahap finalisasi. Ada beberapa hal yang harus didalami untuk mencapai hasil yang maksimal,” ungkap Prof Nidom.

Untuk diketahui, Prof Nidom dari PNF adalah sosok berkomitmen untuk menghasilkan penangkal virus corona Covid 19 ini. Terlebih ia memiliki pengalaman dalam mengatasi wabah flu burung beberapa tahun silam.

Baca Juga: Masih Genting Wabah Corona, India Putuskan Hentikan Ekspor Obat Malaria

Kekinian, Prof Nidom yang juga merupakan Guru Besar Universitas Airlangga (Unair) tengah mempersiapkan ‘Antiviral’ atau sejenis obat yang mampu mengobati atau menghilangkan virus tertentu yang berbahan dasar tanaman herbal.

“Saya sedang fokus untuk membuat obatnya yakni berupa ‘Antiviral’ dari tanaman herbal, Curcumin. Karena kami ingin mengedepankan tanaman herbal kita, dari pada membuat vaksin yang berbahan dasar virus,” ungkap Prof Nidom.

Prof Nidom mengaku bahwa, ia ingin membuat masyarakat kembali mengkonsumsi tanaman herbal yang dapat ditemui dengan mudah di Indonesia, seperti Curcumin.

Ia juga mengatakan bahwa selama ini di Indonesia belum ada yang menggunakan tanaman herbal sebagai obat, melainkan hanya sebatas Imunomodulator atau adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh.

“Selama ini tidak ada penelitian penggunaan obat herbal yang mengarah ke Antiviral atau pengobatan atau menghilang virusnya. Melainkan sebatas sebagai imunomodulator, contohnya kalau kita minum jamu agar imun jadi baik, badan jadi segar tidak mudah sakit,” terangnya.

Baca Juga: Darah Penyintas Virus Corona Jadi Obat Pasien yang Masih Sakit, Bisakah?

Hal tersebut, menurut Prof Nidom bisa dipahami karena peneliti di Indonesia masih minim alat dan sarana. Sejauh ini ia menuturkan, penelitian obat herbal sebatas diuji cobakan ke tikus sebagai imunomodulator.

“Ya bisa dipahami, kenapa tanaman herbal Indonesia hanya sebatas jadi jamu semata, karena fasilitas sangat minim. Tetapi PNF memiliki laboratorium yang mampu menggunakan virus maupun bakteri untuk menguji coba bahan alami atau tanaman herbal sebagai Antiviral atau pembunuh virus bakteri,” katanya.

Saat ini, riset Prof Nidom bersama PNF telah sampai tahapan finalisasi, yakni pengujian dan pemaksimalan akhir. Hasil dari Antiviral virus corona Covid 19 buatan PNF ini akan berupa serbuk obat. Ia juga mengatakan bahwa setidaknya antiviral akan siap kurang lebih 2 minggu ke depan.

“Ya doakan saja 2 minggu lagi sudah selesai. Kami masih mencari finalisasi yang paling tepat, kurang ini kah atau lebih itu kah. Tapi pada dasarnya formula dasar sudah pasti,” tukas Prof Nidom.

Ditanya lebih lanjut, apakah sudah diuji coba ke sample virus, Prof Nidom mengatakan bahwa tahapan itu akan segera diumumkan secara resmi dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Ia juga mengatakan harapannya agar tanaman herbal, bahan alami Indonesia mampu bersaing dengan pengobatan herbal China.

“Saya harap, jamu bisa menjadi obat masa depan, bukan obat kimia lagi. Ini adalah kesempatan Indonesia menyaingi obat cina. Saya tidak menyerah untuk bahan alami Indonesia ini bisa menjadi penyelamat umat manusia,” ungkapnya.

Antiviral tanaman herbal Curcumin (jahe, temulawak, kunyit) yang sedang dikembangkan oleh Prof Nidom akan berupa serbuk obat. Selanjutnya akan ditawarkan kepada pemerintah atau farmasi swasta untuk dijadikan obat.

“Dari kami outputnya serbuk, nanti kalau sudah selesai akan kami tawarkan ke pemerintah maupun pihak lain. Terserah mereka mau jadi kapsul atau kaplet,” pungkas Prof Nidom.

Load More