Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Rabu, 19 Agustus 2020 | 20:51 WIB
Pembajak sawah, Darsan, warga Desa Jetak, Kecamatan Montong, Kabupaten Tuban. (Suara.com/Andri)

Jika tidak ada lahan milik orang yang dibajak, Darsan menawarkan tenaganya untuk dipekerjakan kepada orang lain.

"Asalkan dapat upah. Jika tidak ada lahan yang perlu dibajak. Terpaksa mereman (serabutan). Istilahnya cari kerjaan apa pun yang penting halal," tambahnya.

Biasanya ikut naik mobil pickup milik tetangganya ke luar Kabupaten. Seperti Bojonegoro, Lamongan dan Ngawi.

"Saya biasa ikut kerja dengan tetangga ke luar Kabupaten mencari damen (tangkai padi kering yang sudah diambil bulirnya). Saya membantu mengangkat dari sawah hingga naik ke pickup. Upah dari kerja itu saya menerima uang Rp 70 ribu," katanya.

Baca Juga: Tak Setuju Belajar Online, Rektor UIN SUKA: Pendidikan Itu Merajut Relasi

Susah payah itu dilakukan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Apalagi di tengah pandemi Covid-19, dia harus bekerja keras.

"Anak pertama sudah tidak sekolah. Anak ke dua sudah kelas 1 Madrasah Tsanawiyah dan yang terakhir kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah. Setiap se Minggu sekali harus membelikan kuota internet. Karena cuman punya handphone satu mereka (anak-anak) gantian mengirimkan tugas," ucapnya.

Darsan sendiri sebetulnya memiliki 3 lahan pertanian, semuanya ditanami jagung dan kacang. Namun hasil panen tersebut dia tabung untuk biaya sekolah anak-anaknya nanti hingga ke jenjang perguruan tinggi.

"Dalam hati setiap saya kerja. Pasti ingat anak-anak. Berdoa'a agar anak-anak kedepan tidak bernasib sama seperti bapaknya. Sehingga pengen sekali menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi," harapnya.

Kontributor : Andri Yanto

Baca Juga: Survei SMRC; 92 Persen Pelajar Indonesia Kesulitan Belajar Online

Load More