Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Rabu, 14 Oktober 2020 | 11:26 WIB
Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja dan Omnibus Law rusuh di Kota Surabaya dan Malang (Foto: Antara)

"Selain dari komunitas, mereka juga lebih mudah mendapatkan ajakan dari media sosial, terlebih lagi dilihat dari kecanggihan teknologi, akses-akses media sosial tidak bisa dibendung lagi. Sehingga mereka cenderung lebih percaya omongan teman sebaya di media sosial," katanya.

Selain itu, Bagus menilai adanya rasa kebosanan dari para remaja yang saat ini masih berstatus sebagai pelajar, bosan dengan adanya sistem sekolah daring.

"Saat adanya ajakan demonstrasi, para remaja juga memanfaatkan masa itu sebagai proyek untuk reuni, karena mereka ingin bertemu dengan para temannya face to face," kata Bagus.

Dalam melihat fenomena ini, Bagus memberikan saran pada para remaja agar mengarahkan keinginan atau suara mereka ke hal-hal yang lebih kreatif.

Baca Juga: Pelajar Provokator Demo Ricuh di Pontianak Akan Dikeluarkan dari Sekolah

"Pengakuan dari lingkungan sosial dapat disalurkan melalui demonstrasi yang kreatif oleh remaja, misalnya membuat meme lucu atau menarik tentang materi demonstrasi tanpa mendiskreditkan pihak lain. Cara ini lebih efektif didengarkan dibandingkan dengan demonstrasi," katanya.

Ia juga menerangkan, agar para remaja sebisa mungkin, memahami substansi tujuan apa yang diagendakan dalam demo tersebut. Bukan hanya ikut-ikutan saja.

"Dikhawatirkan jika substansi demonsrasi tidak dipahami oleh remaja, maka bisa terindikasikan remaja tersebut cenderung menggunakan emosionalnya, dibandingkan dengan rasionalnya. Ketika remaja sudah terjebak emosional dalam menyampaikan pendapat maka remaja mudah terjebak ke dalam vandalisme dan kerusuhan," ujarnya.

Kontributor : Dimas Angga Perkasa

Baca Juga: Publik Menanti Debat Henry Subiakto vs Airlangga Pribadi, Unair vs Unair

Load More