Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Rabu, 24 Maret 2021 | 15:11 WIB
Murid madrasah transgender di Pakistan sedang mengaji [Foto: Istimewa/hops.id/Aljazeera]

SuaraJatim.id - Salah satu negara muslim terbesar di dunia, Pakistan, ternyata memiliki sekolah--yang dalam bahasa Arab disebut madrasah--khusus transgender yang masuk dalam kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Tansgender).

Madrasah di Pakistan ini disebut-sebut menjadi tonggak penting bagi komunitas LGBTQ di negara itu. Mulai kepala sekolah, guru dan rata-rata dari 25 muridnya merupakan seorang waria.

Kepala sekolah itu bernama Rani Khan. Ia juga merupakan seorang waria. Sekolah ini berdiri di pinggiran Ibu Kota Pakistan, Islamabad. Madrasah ini merupakan sekolah khusus waria pertama di Pakistan yang mayoritas penduduknya muslim.

"Di Pakistan, transgender dikucilkan. Meskipun tak ada larangan resmi untuk belajar di madrasah atau sekolah agama Islam lainnya, atau salat di masjid, namun mereka tak diterima," ujar Rani, dikutip dari hops.id, jejaring media suara.com, Rabu (24/03/2021).

Baca Juga: Mangkir dari Pengadilan, Polisi Buru Transgender yang Foto di Depan Ka'bah

Hops.id melansirnya dari Aljazeera. Dijelaskan kalau usia murid waria di sekolah tersebut tergolong muda, sekitar 16-19 tahun. Rani menjelaskan, siswanya rata-rata korban Bullying yang terlantar karena hidup sebagai tunawisma.

Lebih lanjut, Rani mengatakan kerap melihat para Transgender remaja yang dikucilkan dan bertahan hidup. "Tak ada yang mau menerima mereka sehingga banyak yang memilih jalan salah," ujarnya.

Banyak di antara mereka berusaha bertahan hidup dengan menggeluti dunia prostitusi, atau mengemis dan menari. Sebagai seorang waria, Rani Khan menceritakan betapa sulitnya hidup di Pakistan.

"Kebanyakan keluarga tidak menerima orang transgender. Mereka mengusir orang-orang transgender dari rumah," tutur Khan.

"Mereka mengadakan pesta-pesta, mereka mulai menari dan mengemis, dan melakukan perbuatan keliru lainnya."

Baca Juga: Kini Jadi Transgender, Elliot Page juga Berjuang dengan Disforia Gender

Khan diperlakukan kejam

Upayanya membangun madrasah transgender ini dilakukan sebab dulu Ia kerap dirundung dan tak punya kesempatan berkembang. Khan bahkan tidak diakui oleh keluarganya sendiri pada usia 13 tahun dan terpaksa mengemis.

Ia kemudian bergabung dengan kelompok transgender pada usia 17 tahun untuk menari di pesta pernikahan atau acara-acara lain untuk mencari nafkah.

Meski begitu, Khan terinspirasi untuk mendalami kembali agamanya setelah bermimpi tentang seorang teman warianya yang sudah meninggal, yang memintanya untuk melakukan sesuatu untuk komunitas mereka.

Khan pernah belajar membaca Alquran di rumah, dan mendalami pendidikan agama Islam di sejumlah madrasah, sebelum membuka madrasah barunya yang terdiri dari dua ruang itu pada Oktober lalu.

"Saya menanggung semua biaya madrasah dari kantong saya sendiri. Ini merupakan uang yang saya peroleh ketika dulu saya biasa menari dan mengemis," kata Khan.

"Saya gunakan uang itu untuk menjalankan madrasah ini. Saya menghabiskan semua tabungan. Kami belum menerima dukungan keuangan dari pemerintah sejauh ini," urai Khan.

Meski Khan tidak menyebutkan berapa biayanya mengoperasikan madrasah tersebut, hingga kini, sekitar delapan siswanya tinggal di madrasah itu secara permanen, sementara lainnya datang sekadar untuk belajar selama beberapa jam sehari.

Khan mengaku dirinya mengajari para siswanya cara menjahit dan membordir, dengan harapan pada akhirnya dapat mengumpulkan uang dengan menjual pakaian.

Kini Khan masih sering kali turun ke jalan-jalan dalam upaya untuk menemukan siswa-siswa baru di antara para pengemis.

Load More