Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Taufiq
Senin, 12 Juli 2021 | 12:02 WIB
Pemain Louvre Surabaya, Dimaz Muharri, saat melakoni laga menghadapi Bima Perkasa Jogja yang sekaligus menjadi debutnya di IBL 2020, Jumat (10/1). [Dok. IBL]

SuaraJatim.id - Lama tak terdengar kabarnya, legenda basket Tanah Air Dimaz Muharri tiba-tiba saja menulis Surat Terbuka guna menjawab pertanyaan publik terkait gugatan perdata CLS Knight terhadap dirinya.

Surat Terbuka dari Dimaz ini disebar kepada wartawan olahraga melalui kuasa hukumnya. Di dalam surat tersebut, Dimaz menekankan pilihannya untuk lebih memilih keluarga. Dalam surat itu, Dimaz menceritakan awal mula dirinya mundur dari dunia basket profesional.

Ia mengatakan, istri dari Dimaz, yakni Selvia Wetty (Muma) mengalami keguguran kandungan sebanyak dua kali. Hal itu membuatnya harus mundur dari dunia basket profesional yang sangat dicintainya, guna menjaga kesehatan istrinya yang sudah dua kali keguguran saat hamil.

Saat izin mundur dari dunia basket, awalnya CLS merestui hal itu. Namun selang beberapa hari sejak saya mengutarakan pengunduran diri, Dimaz diminta untuk membayar uang senilai ratusan juta rupiah, yang di dalamnya termasuk pengembalian gaji yang sudah ia terima (dimana ini adalah hak atas kewajiban yang sudah dia jalankan), dan juga uang kontrak tahun pertama.

Baca Juga: Sejarah dan Tujuan Permainan Bola Basket

"Saya tidak mau pusing, fokus saya adalah keluarga. Uang tersebut, walau jumlahnya tidak sedikit, saya bayar. Kontrak saya yang berlangsung di 2015-2017 pun seharusnya tidak dilanjutkan karena semua nilai yang sudah diberikan kepada saya sudah dikembalikan," tulis Dimaz.

Menurut pengakuan Dimaz, ia melakukan pembayaran tepat sesuai tenggat waktu. Karena kalau tidak, CLS menyebut, setiap bulannya nilai uang itu akan berbunga 5 persen.

Ternyata permasalahan tak berhenti di situ, Dimaz harus kembali menandatangani berkas yang dirasa cukup mengikat. Yakni dengan tujuan, Dimaz Muharri tidak dibolehkan kembali bermain dengan tim profesional lainnya.

"Kata pihak yang memberikan surat itu, kalau saya bergabung dengan klub profesional lain sampai 2017 (sesuai masa kontrak terakhir kami), maka saya harus membayar sebesar Rp 393.600.000. Surat ini juga saya tanda tangani karena saya memang tidak berniat main basket profesional dalam waktu dekat. Surat tersebut diberi nama sebagai Surat Pengakuan Utang. Namun, tidak ada sepeser pun uang yang mengalir ke saya dari jumlah yang disebutkan itu," kata Dimaz perihal surat itu.

Pada 2019, Dimaz mendapatkan tawaran untuk bermain kembali di dunia basket profesional. Namun permasalahan tersebut kembali muncul dari Louvre Surabaya.

Baca Juga: Demi Lolos ke Piala Dunia, Timnas Indonesia akan Tambah Pemain Naturalisasi

"Saya yang rindu basket, dan kondisi keluarga yang membaik, membuat saya mengambil kesempatan ini. Walau kemudian Pandemi COVID-19 datang dan liga dihentikan pada Maret 2020. Saya memutuskan kembali berhenti bermain," ujarnya.

CLS Knights kembali beraksi. Mereka menuntut Dimaz membayar sebesar Rp 393.600.000, karena saya bermain basket kembali untuk Louvre di 2020, tahun yang sudah lewat dari kontrak terakhir kami. Kemudian baru dia sadar bahwa dalam surat tersebut tidak dituliskannya batasan tahun sama sekali.

"Namun, bagaimana bisa kontrak kerja berlaku seumur hidup? Apakah kalau berkesepakatan dengan CLS Knights artinya mengikat hingga ujung usia? Dan yang makin menyedihkan, kalau saya tidak membayar uang tersebut, mereka menggugat supaya dapat menyita rumah saya di Surabaya dan rumah warisan almarhum Bapak saya di Binjai," tulisnya.

Dimaz merasa kecewa dengan CLS Knight, terlebih lagi kasus itu datang dari tim yang sudah ia bela bertahun-tahun. Ia juga menunjukan kelemahan para pemain basket profesional di Indonesia.

"Bahkan, tidak ada badan khusus yang bertugas membantu membela kasus pemain basket seperti saya. Kini, kasus gugatan terhadap saya sedang berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya," beber Dimaz.

Sementara itu, Kuasa Hukum dari Dimaz Muharri, Antonius Youngky Adrianto saat dihubungi SuaraJatim.id membenarkan kasus yang dihadapi oleh kliennya tersebut.

Setelah kasus itu masuk hukum, kliennya menuliskan Surat Terbuka pada publik, khususnya awak media. "Benar itu surat terbuka dari Dimaz Muharri, selaku klien kami," ujar Youngky, Minggu (11/7/2021).

Selain itu, Youngky mengatakan jika kasus ini sudah berjalan beberapa bulan. Namun memang akhirnya kasus ini terdengar setelah kliennya membuat Surat Terbuka pada publik.

"Kasus ini sudah ditangani oleh Pengadilan Negeri Surabaya, dan sudah masuk Duplik," katanya menegaskan. Sementara Dimaz Muharri sampai berita ini diturunkan belum bisa dihubungi.

Ini isi Surat Terbuka dari Dimaz Muharri :

Saya ingin tanya ke teman-teman, kalau ada pilihan karier dan keluarga, teman-teman pilih memprioritaskan mana? Saya, Dimaz Muharri, akan lantang menjawab: Keluarga. Inilah alasan saya dulu di 2015 mengundurkan diri sebagai pemain basket profesional Indonesia. Dengan sangat berat hati.

Bagaimana tidak berat hati. Olahraga yang saya cintai, yang mengizinkan saya tampil sebagai All-Star liga profesional hampir setiap tahun, yang sudah membuat saya mengenal dan dikenal banyak orang, harus saya tinggalkan. Sampai surat ini saya tulis, saya tidak pernah mengutarakan penyebab sesungguhnya ke publik. Tapi, saya rasa ini waktunya untuk bercerita.

Sebelum saya mengundurkan diri, istri tercinta saya Muma (Selvia Wetty) dua kali keguguran. CLS tahu betul situasi sulit keluarga kami ini. Dan dalam masa-masa dua kali kehamilannya itu, sering saya harus meninggalkan dia untuk bertanding basket di luar kota. Setelah pengalaman dua kali keguguran yang sangat memukul kami, saya merasa itulah saatnya saya harus fokus pada kesehatan Muma dan memikirkan keluarga kami. Karena itulah saya mengundurkan diri.

Awalnya CLS tampak merestui keputusan saya. Namun selang beberapa hari sejak saya mengutarakan pengunduran diri, saya diminta untuk membayar uang senilai ratusan juta Rupiah. Yang di dalamnya termasuk pengembalian gaji yang sudah saya terima (dimana ini adalah hak atas kewajiban yang sudah saya jalankan) dan juga uang kontrak tahun pertama. Saya tidak mau pusing, fokus saya adalah keluarga. Uang tersebut, walau jumlahnya tidak sedikit, saya bayar. Kontrak saya yang berlangsung di 2015-2017 pun seharusnya artinya tidak dilanjutkan karena semua nilai yang sudah diberikan kepada saya sudah dikembalikan. Pembayaran saya lakukan tepat sesuai tenggat waktu. Karena kalau tidak, CLS menyebut, setiap bulannya nilai uang itu akan berbunga 5 persen.

Namun ini tidak cukup. Setelah saya bayar semua, mereka juga minta saya tandatangani surat yang katanya bertujuan supaya saya tidak bermain di klub profesional lain. Kata pihak yang memberikan surat itu, kalau saya bergabung dengan klub profesional lain sampai 2017 (sesuai masa kontrak terakhir kami), maka saya harus membayar sebesar Rp 393.600.000. Surat ini juga saya tanda tangani karena saya memang tidak berniat main basket profesional dalam waktu dekat. Surat tersebut diberi nama sebagai Surat Pengakuan Utang. Namun, tidak ada sepeser pun uang yang mengalir ke saya dari jumlah yang disebutkan itu.

Pada 2019, dua tahun sudah berlalu dari 2017, tawaran untuk bermain basket profesional kembali datang ke saya, dari Louvre Surabaya. Saya yang rindu basket, dan kondisi keluarga yang membaik, membuat saya mengambil kesempatan ini. Walau kemudian Pandemi COVID-19 datang dan liga dihentikan pada Maret 2020. Saya memutuskan kembali berhenti bermain.

Di masa pandemi yang sulit ini, CLS Knights kembali beraksi. Mereka menuntut saya membayar sebesar Rp 393.600.000 karena saya bermain basket kembali untuk Louvre di 2020, tahun yang sudah lewat dari kontrak terakhir kami. Kemudian baru saya sadar bahwa dalam surat tersebut tidak dituliskannya batasan tahun sama sekali. Namun, bagaimana bisa kontrak kerja berlaku seumur hidup? Apakah kalau berkesepakatan dengan CLS Knights artinya mengikat hingga ujung usia? Dan yang makin menyedihkan, kalau saya tidak membayar uang tersebut, mereka menggugat supaya dapat menyita rumah saya di Surabaya dan rumah warisan almarhum Bapak saya di Binjai.

Saya menuliskan ini bukan hanya untuk menyampaikan kekecewaan yang mendalam atas klub yang sudah saya bela dan harumkan namanya bertahun-tahun. Tapi juga ingin menunjukkan betapa lemah posisi pemain basket profesional di negeri kita. Teman-teman bisa melihat betapa sering pemain tidak punya suara atas nasibnya. Bahkan, tidak ada badan khusus yang bertugas membantu membela kasus pemain basket seperti saya. Kini, kasus gugatan terhadap saya sedang berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya.

Saya berharap kasus saya ini menjadi pelajaran untuk seluruh atlet dan calon atlet profesional Indonesia. Saya berharap kasus ini menjadi kasus terakhir seorang atlet profesional diperlakukan semena-mena. Untuk yang akan menandatangani kontrak, perhatikan betul apa hak dan kewajiban kalian. Hati-hati atas permainan kata dalam kontrak kerja atau surat lainnya. Maaf, tapi jangan hanya percaya pada kekeluargaan. Karena ujungnya bisa mengarah pada gugatan ajaib.

Sebelum saya menutup tulisan ini, saya ingin bercerita kembali tentang keluarga saya. Pada 2016, Muma kembali mengandung. Kemudian, di usia kandungan Muma yang ke tujuh bulan, kembali terjadi masalah. Yang saya syukuri, saya bisa ada di sisi Muma, mendampingi istri saya setiap hari selama masa mengandung, hingga akhirnya kami bisa bersama-sama memutuskan menjalankan kelahiran prematur. Pada 7 Mei 2017, lahir anak kami Naqasamy Akio Muharri. Kini, Alhamdulillah, Akio menjadi anak yang sehat. Usianya sudah empat tahun. Dan dia sudah bisa meniru gaya saya setelah membuat poin, hasil nonton dari YouTube.

Setiap Bapak dan Ibu (termasuk pihak-pihak di CLS Knights) pasti tahu betapa bahagianya menjadi orang tua. Maka kalau ada yang bertanya, apakah saya menyesal memilih meninggalkan basket pada 2015 untuk fokus kepada keluarga, jawaban saya masih lantang: Saya tidak menyesal.

Kontributor : Dimas Angga Perkasa

Load More