SuaraJatim.id - Pembatasan gerak masyarakat di China disambut protes keras elemen massa anti-lockdown. Gerakan protes ini terus membesar dalam beberapa hari terakhir.
Protes ini menyeruak di tengah lonjakan kasus infeksi Covid-19 di negeri itu. Kebijakan ketat lockdown membuat masyarakat kian terbatasi ruang geraknya sehingga membuat mereka kian resah.
Para demonstran di Shanghai menyerukan permintaan yang jarang terjadi sebelumnya, agar Presiden Xi Jinping mundur, menurut saksi dan video yang dibagikan di media sosial.
Di Shanghai, ratusan orang berkumpul pada Minggu malam untuk unjuk rasa yang diadakan selama dua hari berturut-turut, dengan para peserta melampiaskan kemarahan mereka terhadap pihak berwenang.
Baca Juga: Protes Lockdown China Kian Parah, Xi Jinping Diminta Turun dari Jabatannya
Mereka meneriakkan slogan-slogan seperti "Turunkan Xi Jinping" dan "Turunkan kaisar" yang mengacu pada pemimpin negara tersebut.
Banyak petugas polisi yang dikerahkan di lokasi untuk mengepung para pengunjuk rasa dan beberapa dari mereka ditahan. Di China, gerakan protes besar jarang terjadi karena mengkritik pemerintah secara terbuka dianggap ilegal.
Kota Shanghai, yang merupakan pusat keuangan dan komersial negara itu, telah menjalani penguncian (lockdown) selama dua bulan pada awal tahun ini.
Banyak aksi unjuk rasa di seluruh China dipicu oleh kebakaran mematikan yang terjadi di Urumqi, ibu kota Xinjiang.
Sejumlah demonstrasi berikutnya di kota itu berlangsung dengan spekulasi yang berkembang bahwa upaya evakuasi dan penyelamatan dalam peristiwa kebakaran itu mungkin terhambat akibat langkah penguncian.
Baca Juga: Warga China Turun ke Jalan, Protes Kebijakan Nol-Covid Xi Jinping
Mahasiswa Universitas Tsinghua, sebuah sekolah tinggi elit di Beijing yang adalah almamater Xi, mengadakan demonstrasi pada Minggu untuk menyerukan kebebasan.
Nyala lilin juga diadakan di sebuah universitas Nanjing pada Sabtu untuk meratapi 10 korban kebakaran yang terjadi di sebuah gedung apartemen bertingkat tinggi di Urumqi.
Menurut video yang beredar, aksi protes juga dilakukan di pusat kota Wuhan -- tempat wabah COVID-19 pertama kali terdeteksi pada akhir 2019, kota Shenzhen -- pusat kegiatan teknologi di China selatan, kota Lanzhou di barat laut, dan Jilin di timur laut.
Di Shanghai, lebih dari 100 orang turun ke sebuah jalan lokal bernama Urumqi pada Sabtu malam. Mereka menawarkan lilin dan bunga untuk memberi penghormatan kepada para korban kebakaran.
Orang-orang juga menyerukan keluhan mereka tentang langkah-langkah pencegahan COVID yang radikal, menolak kediktatoran dan mendorong upaya demokrasi.
Namun, polisi kemudian turun tangan dan menahan beberapa demonstran, menurut sejumlah saksi dan video.
Seorang pria berusia 20-an yang datang untuk meletakkan bunga di jalan mengatakan dia yakin langkah pembatasan COVID yang diterapkan Pemerintah China terlalu ketat karena penyakitnya sekarang sudah dianggap seperti flu biasa. Dia juga menyesalkan kurangnya kebebasan berbicara di China.
Hingga Sabtu (26/11), China telah mencatat kasus virus corona harian lebih dari 38.000 di daratan, menurut Komisi Kesehatan Nasional negara itu.
Angka kasus tersebut mencapai tingkat tertinggi untuk hari keempat berturut-turut dibandingkan dengan saat pemerintah mulai merilis data pada musim semi 2020.
Di China, orang-orang di daerah yang menjalani lockdown dilarang meninggalkan rumah mereka dan seringkali kesulitan mendapatkan makanan yang cukup dan kebutuhan sehari-hari.
Menghadapi kemarahan publik yang semakin meningkat, pemerintah China baru-baru ini mengatakan akan menahan diri untuk tidak menerapkan penguncian di seluruh kota dan sebagai gantinya mengisolasi bangunan tempat kasus COVID dilaporkan.
Kepemimpinan Xi Jinping diyakini khawatir dengan penyebaran aksi protes terhadap kebijakan nol-COVID dan meningkatnya kritik terhadap pemerintah.
Xi memulai masa jabatan lima tahun sebagai presiden untuk ketiga kalinya, di mana hal itu melanggar norma. Xi kembali menjabat sebagai ketua Partai Komunis yang berkuasa pada Oktober.
Daerah otonom Xinjiang pada Sabtu memutuskan untuk menindak aksi kekerasan yang bertujuan menghalangi penerapan langkah-langkah anti-virus.
Seorang jurnalis China mengatakan pihak berwenang mungkin mengklaim bahwa "pasukan asing" berada di belakang aksi protes dan secara ketat mengontrol aksi unjuk rasa. ANTARA
Berita Terkait
-
Wall Street Keok, IHSG Diprediksi Melemah Imbas Perang Dagang Trump vs Xi Jinping
-
Pemerintah China Guyur Ratusan Triliun Agar Warga Bisa Belanja, Mengapa?
-
Trump Naikkan Tarif, China Ancam Perang Total Melawan AS
-
Xi Jinping dan Putin Bahas Perkembangan Terbaru Konflik Ukraina, Ini Isi Pembicaraannya
-
Khawatir Indonesia Jadi Objek Politik Lebensraum China, Amien Rais: Jokowi Katalisator Ambisi Xi Jinping
Terpopuler
- Pemilik Chery J6 Keluhkan Kualitas Mobil Baru dari China
- Profil dan Aset Murdaya Poo, Pemilik Pondok Indah Mall dengan Kekayaan Triliunan
- Jadwal Pemutihan Pajak Kendaraan 2025 Jawa Timur, Ada Diskon hingga Bebas Denda!
- Pemain Keturunan Maluku: Berharap Secepat Mungkin Bela Timnas Indonesia
- Jairo Riedewald Belum Jelas, Pemain Keturunan Indonesia Ini Lebih Mudah Diproses Naturalisasi
Pilihan
-
Sekantong Uang dari Indonesia, Pemain Keturunan: Hati Saya Bilang Iya, tapi...
-
Solusi Pinjaman Tanpa BI Checking, Ini 12 Pinjaman Online dan Bank Rekomendasi
-
Solusi Aktivasi Fitur MFA ASN Digital BKN, ASN dan PPPK Merapat!
-
5 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan RAM 8 GB, Terbaik untuk April 2025
-
Gelombang Kejutan di Industri EV: Raja Motor Listrik Tersandung Skandal Tak Terduga
Terkini
-
Heboh Es Krim Beralkohol Dijual di Stan Mall Surabaya
-
LKPJ Gubernur Jatim 2024: Fraksi DPRD Apresiasi dengan Sejumlah Catatan
-
Kronologi Mobil BMW Terbang di Tol Gresik yang Belum Tersambung
-
Asisten Masinis Tewas Usai KA Jenggala Tabrak Truk, PT KAI Tempuh Jalur Hukum
-
Dua Gudang Penyimpanan Bahan Baku Sandal Milik Pabrik Sepatu Legendaris di Surabaya Ludes Terbakar